Bogor,sorotkabar.com - Upaya menjaga kelestarian orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) tidak bisa berdiri sendiri. Diperlukan kolaborasi multipihak, pendekatan berbasis masyarakat, serta komitmen jangka panjang agar koeksistensi manusia dan satwa langka ini benar-benar terwujud.
Pada 2023, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) mempublikasikan dokumen panduan tentang konflik dan koeksistensi manusia–satwa liar. Dokumen ini menjelaskan berbagai langkah komprehensif dan efektif yang perlu dipertimbangkan sebelum menerapkan penanganan konflik serta koeksistensi manusia–satwa liar.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia, termasuk rumah bagi orangutan tapanuli. Satwa ini baru diakui sebagai spesies terpisah pada 2017 dan menurut Daftar Merah IUCN berstatus kritis, dengan populasi hanya sekitar 577–760 individu yang seluruhnya hidup di Hutan Batangtoru, Sumatera Utara.
Direktur Konservasi dan Genetik Ditjen KSDAE KLHK, Nunu Anugrah, mengatakan tantangan konservasi orangutan tapanuli kian kompleks. Fragmentasi dan penyempitan habitat, perburuan, perdagangan ilegal, isolasi populasi, risiko penyakit, serta rendahnya kesadaran publik masih membayangi upaya perlindungan.
“Pemerintah Indonesia telah melindungi orangutan tapanuli secara hukum melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 2018," ujarnya dalam diskusi Peluang Koeksistensi dalam Upaya Konservasi Orangutan Tapanuli, Kamis (5/9/2025).
Nunu menambahkan, pemerintah telah menjalankan berbagai inisiatif seperti restorasi habitat, perlindungan populasi, rehabilitasi, pengawasan dan penegakan hukum, serta edukasi publik.
Peneliti BRIN, Wanda Kuswanda, mengingatkan habitat orangutan tapanuli terfragmentasi dalam tiga blok dengan luas efektif 138.435 hektare. Satwa ini kerap tertarik pada tanaman warga sehingga memicu konflik.
“Upaya mitigasi konflik antara manusia dan orangutan tapanuli harus menjadi prioritas multipihak. Prinsip dasarnya adalah keselamatan bagi manusia dan orangutan,” kata Wanda.
Menurut Wanda, mitigasi konflik bertujuan mengurangi risiko kerugian kedua belah pihak. “Terwujudnya koeksistensi sangat bergantung pada kita sebagai manusia yang diberi amanah sebagai khalifah di bumi, dengan menyetarakan kepentingan manusia dan kebutuhan orangutan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna, menekankan perlunya mengubah konflik menjadi peluang melalui pendekatan Conflict to Coexistence (C2C). “Koeksistensi membutuhkan perencanaan tata guna lahan berkelanjutan, keterlibatan masyarakat, manajemen konflik, penegakan hukum, riset, serta kebijakan yang konsisten. Kunci keberhasilan ada pada kolaborasi lintas sektor,” katanya.
Menurut Dolly, kolaborasi mencakup pemerintah, akademisi, pelaku usaha, LSM, masyarakat lokal, dan media. “Dengan komitmen jangka panjang, kita bisa menciptakan lingkungan di mana manusia dan orangutan hidup berdampingan,” ucapnya.
Direktur Hubungan Eksternal PT Agincourt Resources, Sanny Tjan, menambahkan keberhasilan konservasi tidak lepas dari kontribusi semua pihak. Ia menekankan perlunya konsep pentahelix yang menyinergikan akademisi, dunia usaha, komunitas, pemerintah, dan media.
Antropolog Universitas Indonesia, Sundjaya, menilai pemahaman sosial budaya masyarakat sekitar hutan juga penting. “Metode etnografi dapat memperkuat strategi berbasis komunitas. Pengetahuan dan budaya lokal mendorong partisipasi aktif masyarakat adat dalam pelestarian orangutan tapanuli,” ujarnya.
Dengan status kritis dan habitat yang makin terdesak, kolaborasi multipihak dinilai bukan hanya pilihan, melainkan keharusan.(*)