Pesisir Selatan, sorotkabar.com – Suasana tenang di sebuah SMA negeri di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, mendadak berubah menjadi kepanikan.
Di tengah jam pelajaran, seorang siswi kelas X tiba-tiba meminta izin keluar kelas karena mengeluh sakit perut. Tak ada yang menyangka, gadis belasan tahun itu sebenarnya tengah berjuang melahirkan bayinya di ruang kelas kosong, hanya ditemani dua orang temannya.
Peristiwa memilukan itu terjadi Selasa (28/10/2025) sekitar pukul 09.00 WIB.
“Anak ini sempat mengeluh perutnya sakit, lalu keluar cairan seperti ketuban. Ia berjalan ke kelas lain yang kosong,” kata Kasat Reskrim Polres Pesisir Selatan, AKP M. Yogie Biantoro, Jumat (31/10).
Dua temannya yang ikut menemani semula tak mengerti apa yang sedang terjadi. Mereka panik ketika menyadari suara tangisan bayi kecil keluar dari balik meja kelas. Guru dan siswa lain segera berhamburan ke lokasi.
Korban segera dilarikan ke puskesmas terdekat. Bayi perempuan itu lahir dalam kondisi selamat, sementara ibunya masih dalam keadaan syok berat.
Yang membuat kasus ini begitu menyayat hati, ternyata siswi tersebut adalah korban pemerkosaan berulang oleh pamannya sendiri, PRK (32). Selama hampir sepuluh bulan, pelaku mengancam akan membunuh korban bila berani bercerita.
“Pemerkosaan terjadi berulang kali sejak Januari 2025 di rumah orang tua korban,” ujar Yogie.
Tidak ada satu pun anggota keluarga yang menyadari kondisi korban. Bentuk tubuhnya yang sedikit gemuk membuat kehamilannya tersamarkan. Bahkan para guru yang berinteraksi setiap hari pun tak mencurigai apa pun.
Ketika kabar itu sampai ke keluarga, amarah dan kesedihan bercampur. Polisi segera menahan pelaku di hari yang sama setelah laporan resmi dibuat oleh orang tua korban.
“Pelaku kini sudah kami amankan di Polres Pesisir Selatan. Proses hukum sedang berjalan,” tegas Yogie.
Kasus ini bukan hanya tentang kejahatan seorang paman terhadap keponakannya. Ia membuka realitas pahit tentang lemahnya perlindungan anak di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat paling aman keluarga.
Aktivis perlindungan perempuan dan anak, Fitri Handayani, menilai tragedi ini menggambarkan betapa dalamnya luka sosial di masyarakat pedesaan.
“Anak-anak seringkali tak berani bicara karena pelakunya orang dekat. Ini menandakan masih lemahnya pendidikan seksual dan sistem deteksi dini kekerasan di sekolah maupun keluarga,” ujarnya.
Pemerintah daerah diminta untuk segera memberikan pendampingan psikologis dan hukum bagi korban serta keluarganya. Selain itu, aparat penegak hukum diharapkan memberi hukuman maksimal kepada pelaku agar menjadi pelajaran keras bagi masyarakat.
Kini, di ruang kelas tempat peristiwa itu terjadi, hanya tersisa bekas darah dan kain yang digunakan teman-temannya untuk membantu proses persalinan. Di papan tulis masih tertulis jadwal pelajaran hari itu — bukti bisu bagaimana ruang belajar bisa berubah menjadi ruang luka, ketika dunia orang dewasa gagal melindungi anak-anaknya. (*)