Jawa Barat,sorotkabar.com - Oleh Taufik Nurrohim, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa.Dalam rangka memperingati 27 tahun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli 2025, momen ini menjadi refleksi atas perjalanan sebuah partai yang lahir dari pesantren dan gelombang reformasi, serta tumbuh menjaga nilai Islam yang ramah, nasionalisme inklusif, dan keberpihakan kepada rakyat kecil.
Di tengah era pascakebenaran (post-truth), dominasi algoritma, dan krisis demokrasi global, PKB dituntut bukan sekadar bertahan sebagai partai elektoral, tetapi terus relevan sebagai penuntun arah dan penjaga kesadaran publik.
Krisis Demokrasi dan Dunia Pascakebenaran
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia menghadapi perubahan sosial-politik yang bersifat mendasar. Kita hidup di tengah era pascakebenaran, di mana kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur utama dalam ruang publik.
Fakta sering dikalahkan oleh persepsi. Apa yang viral cenderung dianggap valid. Yang emosional terasa lebih meyakinkan dibandingkan yang berbasis data. Algoritma media sosial memperkuat bias, menutup ruang dialog, dan menciptakan polarisasi. Sementara itu, demokrasi terus berlangsung secara prosedural, tetapi mengalami erosi legitimasi substansial.
Fenomena krisis demokrasi terjadi di banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Lembaga-lembaga demokrasi melemah. Kepercayaan terhadap partai politik, parlemen, bahkan media, terus menurun. Politik identitas menjadi alat mobilisasi sekaligus polarisasi.
Kelompok-kelompok marginal semakin mudah dijadikan kambing hitam atas kegagalan struktural. Di tengah banjir informasi dan manipulasi persepsi, rakyat menghadapi kebingungan untuk memilah mana yang benar dan mana yang sekadar memuaskan emosi sesaat.
Dari Pesantren ke Rupublik
PKB, sebagai partai yang lahir dari rahim pesantren dan nilai-nilai kebudayaan Islam Nusantara, memiliki fondasi historis untuk menghadapi tantangan ini. Didirikan pada 23 Juli 1998, PKB bukan hasil dari kongsi elite atau produk teknokrasi negara.
PBB hadir sebagai representasi dari kekuatan sosial yang berbasis nilai: pesantren, ulama, serta masyarakat kecil yang selama ini terpinggirkan. Para pendirinya, seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Moch. Ilyas Ruhiat, KH Munasir Ali, KH Muchtar Muchith Muzadi, dan KH Mustofa Bisri, menjadikan politik sebagai ruang pengabdian yang menggabungkan Islam, kebangsaan, dan keadilan sosial.
Tren Populisme dan Gaya Kepemimpinan Baru
Dalam dinamika politik mutakhir, munculnya gelombang populisme juga menjadi perhatian. Banyak pemimpin politik hari ini naik bukan karena kekuatan gagasan, tetapi karena kemampuan membentuk narasi emosional yang menentang elite.
Figur populis muncul dengan gaya merakyat, namun tidak selalu memiliki arah kebijakan yang jelas. Populisme, jika tidak disertai dengan nilai dan visi jangka panjang, berisiko melahirkan otoritarianisme yang dibungkus euforia massa.
Dalam konteks ini, partai seperti PKB dihadapkan pada pilihan strategis. Apakah akan larut dalam gelombang populisme dangkal, atau menawarkan bentuk populisme yang lebih berkarakter dan berorientasi pada perubahan struktural? Populisme tidak harus ditolak seluruhnya, tetapi perlu dikendalikan agar tidak menjadi alat manipulasi semata. Di sinilah pentingnya membangun populisme progresif yang berbasis nilai.
Sintesis Pendekatan Marketing Politik dengan Kesadaran Politik
Selain populisme, tantangan serius lainnya adalah dilema antara pendekatan marketing politik dan kesadaran politik. Dalam era digital, marketing politik menawarkan jalan pintas: kemasan visual menarik, narasi emosional, dan algoritma yang menjangkau luas. Ini strategi yang efektif secara elektoral, tetapi rentan mengikis ideologi partai. Pemilih diposisikan sebagai konsumen, bukan warga negara yang sadar dan kritis.
Sebaliknya, pendekatan kesadaran politik memerlukan proses jangka panjang. Ia membentuk pemilih sebagai subjek demokrasi yang aktif, dan kader sebagai pemimpin yang tahan uji secara etis.
Tradisi ini sejalan dengan karakter pesantren sebagai ruang pembentukan nilai dan keberpihakan. Namun, pendekatan ini menuntut kesabaran, sumber daya, dan keberanian untuk tidak larut dalam euforia elektoral.
Tantangan PKB ke depan adalah merumuskan sintesis yang kreatif antara dua pendekatan ini: membangun komunikasi politik yang efektif tanpa mengorbankan komitmen ideologis.
PKB harus mencetak kader yang mampu berbicara di ruang digital, tetapi tetap berpijak pada nilai. Marketing politik mungkin diperlukan untuk menjangkau publik, tetapi kesadaran politiklah yang menjaga arah perjuangan.
Populisme Progresif: Jalan Tengah PKB
Sebagai jawaban praktis, PKB dapat mengusung pendekatan populisme progresif. Ini adalah keberpihakan nyata kepada rakyat kecil, tetapi dijalankan dengan kebijakan jangka panjang yang memperkuat kapasitas rakyat, memperbaiki layanan publik, dan menjaga ruang hidup.
Populisme progresif bukan anti-elite, tetapi menuntut elite yang adil. Bukan anti-intelektual, tetapi ilmu yang membumi. Bukan anti-negara, tetapi negara yang berpihak pada yang lemah.
PKB memiliki posisi strategis untuk menjalankan agenda ini. Dengan basis sosial yang kuat di pesantren, desa, dan kelas menengah santri, PKB bisa menjadi jembatan antara rakyat dan negara, antara nilai dan kebijakan, antara akar dan masa depan. Tentu dengan catatan: proses kaderisasi, konsolidasi ideologis, dan regenerasi kepemimpinan harus dilakukan secara serius dan berkelanjutan.
Menjaga Kompas di Laut yang bergelombang
Pada akhirnya, tantangan utama PKB dan partai politik pada umumnya di era ini bukan semata memenangkan pemilu, tetapi menjaga arah dan marwah demokrasi itu sendiri. Di tengah gempuran post-truth, algoritma, dan populisme instan, partai politik yang dibutuhkan bukan yang paling nyaring, tetapi yang paling tahu ke mana ia melangkah.
PKB, yang kini memasuki usia 27 tahun, dituntut tidak hanya bertahan dalam arus zaman, tetapi memimpin arah perubahan. Dengan menjaga akarnya, memperbarui metode, dan menegaskan komitmen pada nilai, PKB dapat tetap menjadi partai yang relevan di tengah zaman yang berubah cepat, tetapi tetap berpihak pada mereka yang paling rentan.(*)