Selat Hormuz Terancam Tutup, Pertamina Siapkan Jalur Minyak Alternatif

Selat Hormuz Terancam Tutup, Pertamina Siapkan Jalur Minyak Alternatif
Dalam foto arsip 19 Januari 2012 ini, perahu nelayan terlihat di depan kapal tanker minyak di selatan Selat Hormuz, lepas pantai kota Ras Al Khaimah di Uni Emirat Arab.AP Photo/Kamran Jebreili

Jakarta,sorotkabar.com - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, akan segera berkoordinasi dengan PT Pertamina (Persero) menyikapi dampak dari situasi di Timur Tengah. 

Pertamina sebagai perusahaan negara sedikit banyak terkena imbas dari kondisi tersebut.

Terutama jika Iran sampai menutup Selat Hormuz. Bahlil menerangkan, sekitar 30 persen minyak mentah global melewati jalur tersebut, termasuk ke Indonesia.

“Untuk Indonesia berapa? Nanti kita cek. Besok juga saya ada rapat dengan Pertamina untuk membahas berbagai langkah taktis dalam menghadapi dinamika global, khususnya terkait ketersediaan energi kita,” kata Menteri ESDM dalam sesi tanya jawab dengan awak media setelah ia berbicara di Jakarta Geopolitical Forum IX 2025, di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (24/6/2025).

Ia belum bisa memberikan penjelasan rinci mengenai berapa volume minyak mentah menuju Indonesia yang melewati Selat Hormuz. Pasalnya, hal itu harus melalui perhitungan matang. Namun, lanjut Bahlil, impor Indonesia berasal dari berbagai belahan dunia.

“Ada yang dari negara-negara Afrika, Amerika Latin, dan sebagainya. Sumur-sumur minyak Pertamina ada di sana. Kemudian beberapa dari Timur Tengah. Tapi nanti berapa pastinya, saya akan cek,” ujarnya.

PT Pertamina (Persero) telah merespons isu ini. Parlemen Iran dikabarkan sepakat mendorong penutupan jalur utama perdagangan energi global di kawasan Timur Tengah, buntut ketegangan Israel-Iran.

Teranyar, militer Amerika Serikat dikabarkan menyerang fasilitas nuklir Iran. Sebagai balasannya, rudal Iran diluncurkan ke pangkalan AS di Qatar. Pembicaraan mengenai potensi penutupan Selat Hormuz kembali mencuat, meski keputusan tertinggi ada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran.

Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menyebut, jika hal itu terjadi, maka sedikit banyak akan berdampak terhadap distribusi minyak mentah global. Ia menyinggung kondisi di lapangan, di mana sebanyak 20 persen minyak mentah diangkut melalui selat yang menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab melalui Teluk Oman.

“Pertamina telah mengantisipasi hal tersebut dengan mengamankan kapal kami, mengalihkan rute kapal ke jalur aman melalui Oman dan India, misalnya. Terkait biaya operasional, masih kami cek,” kata Fadjar kepada Republika.co.id, Senin (23/6/2025).

Sebelumnya, ia menyampaikan hal serupa saat ditemui selepas peluncuran Anugerah Jurnalis Pertamina (AJP) 2025 beberapa hari lalu. Ia menyebut perusahaan telah meningkatkan kewaspadaan dan melakukan pemantauan berkala.

“Termasuk dengan kapal-kapal tanker Pertamina, khususnya yang mengangkut minyak mentah ke Indonesia. Kami sudah memantau melalui Pertamina International Shipping. Seluruh kapal, khususnya yang berlayar di rute internasional, dalam kondisi aman,” ujarnya di Jakarta, Selasa (17/6/2025).

Situasi saat ini, kata Fadjar, masih sangat dinamis dan bisa berubah sewaktu-waktu. Ada potensi eskalasi meningkat, mengingat para pihak yang terlibat konflik saling melontarkan ancaman.

Oleh karena itu, jika sampai mengganggu jalur distribusi atau pelayaran kapal Pertamina, perusahaan telah menyiapkan jalur alternatif. “Itu melalui beberapa titik yang kami harapkan tidak mengganggu pasokan minyak dari Timur Tengah dan sekitarnya ke Indonesia,” ujarnya.

Terkait pasokan, Fadjar menegaskan, Pertamina memiliki banyak sumber minyak mentah. Artinya, tidak hanya bergantung pada satu negara tertentu. Sistemnya fleksibel saat terjadi hambatan di satu titik.

“Kami mempunyai alternatif sumber yang bisa dijadikan pasokan energi. Jadi, kami memastikan pasokan energi ke Indonesia tetap aman,” ujarnya.

Praktisi industri minyak dan gas bumi (migas), Hadi Ismoyo, menilai jika ancaman Iran menjadi nyata, akan menghilangkan sekitar 20 persen pasokan minyak dari kawasan Teluk. Indonesia tentu akan terdampak, mengingat negara ini merupakan salah satu importir minyak dunia, dengan lebih dari separuh kebutuhan nasional dipenuhi lewat impor.

Menurut Hadi, pemerintah seharusnya kembali menghidupkan program konversi energi dari bahan bakar minyak ke gas. “Program konversi BBM/LPG ke gas yang digagas sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya dihidupkan lagi, supaya kita terbebas dari ketergantungan impor BBM dan LPG,” katanya.

Ia menilai Indonesia memiliki sumber daya gas yang cukup besar, sementara minyak dan LPG terbatas. Karena itu, ia mendorong pembangunan infrastruktur gas secara agresif, seperti Terminal Regas FSRU, jaringan pipa transmisi dan distribusi baik konvensional maupun virtual untuk membawa gas dari kawasan timur seperti Tangguh III, Kasuri, Masela, Gank North, IDD, dan Andaman Sea Gas Discovery ke pusat-pusat industri di Pulau Jawa.

Selain substitusi energi, opsi lain yakni peningkatan lifting migas untuk mengurangi volume impor. Ini juga menjadi salah satu target utama Pemerintahan Prabowo Subianto.(*) 
 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index