Menteri LH Akui Deforestasi Perparah Bencana Sumatera, Penebangan Hutan Sudah Jadi Budaya

Menteri LH Akui Deforestasi Perparah Bencana Sumatera, Penebangan Hutan Sudah Jadi Budaya
Atap bangunan masjid roboh diterjang banjir bandang dan tanah longsor di Desa Garoga, Tapanuli Selatan, Sabtu (6/12/2025). Desa Garoga, Kecamatan Batang Toru, menjadi salah satu daerah paling parah terdampak bencana banjir dan longsor yang melanda Kabupa

Semarang,sorotkabar.com - Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengakui, deforestasi menjadi salah satu faktor yang memperparah dampak bencana di Sumatera. Menurutnya, penebangan hutan telah menjadi budaya yang meluas.

Hanif mengatakan, selama sepuluh hari terakhir, dia telah melakukan pemantauan udara di daerah-daerah terdampak bencana di Aceh, Sumatera Barat (Sumbar), dan Sumatera Utara (Sumut). Dia mengakui, terdapat beragam narasi dari berbagai pihak soal penyebab bencana di Sumatera. Namun dia menilai, hal itu harus tetap dikomparasi dengan data di lapangan.

"Sejatinya ada tiga faktor penting yang hari ini memperparah terjadinya bencana di Sumatera Utara, mulai dari antropogenik kita, dari kultur kita, budaya kita yang telah melakukan kegiatan deforestasi yang cukup luas. Kemudian dari geomorfologi kita yang ada di Sumatera bagian utara juga dalam kondisi yang tidak stabil," ungkap Hanif saat memberikan sambutan dalam acara Penganugerahan Pemeringkatan UI Greenmetric Indonesia 2025 yang digelar di Muladi Dome, Universitas Diponegoro, Selasa (16/12/2025).

Menurutnya, deforestasi di Sumut, terutama pada lima daerah aliran sungai (DAS) di wilayah selatannya, sangat serius. "Tercatat di kita hampir 15 ribu hektare lahan berubah dari hutan menjadi tidak hutan selama hampir 15 tahun," katanya.

Dia menerangkan, harus diakui pula bahwa curah hujan tinggi, terutama pada 24-27 November 2025, berperan dalam bencana di Sumatera. Hal itu merupakan dampak siklon tropis Senyar.

"Curah hujan rata-rata, kita mulai dari Sumatera Barat, karena Sumatera Barat memiliki curah hujan tertinggi pada saat kejadian itu, hampir rata-rata 135 milimeter per day yang terjadi selama empat hari," kata Hanif.

Artinya, tambah Hanif, curah hujan di Sumbar selama empat hari mencapai lebih dari 500 milimeter per meter persegi. "Kalau kita jumlahkan dengan daerah terdampaknya, maka hampir 2 miliar sekian air turun pada daerah aliran sungai (DAS) yang terdampak di Sumatera Barat, yang meliputi 16 sampai 18 DAS terdampak," ucapnya.

Menurut Hanif, rata-rata curah hujan di Sumatera adalah 2.500-3.000 milimeter per tahun atau rata-rata delapan hingga 10 milimeter per hari. "Hari itu, selama empat hari, rata-rata hampir 135 milimeter per day. Artinya hujan selama 20 hari, turun dalam satu hari, dan itu terjadi selama empat hari," ujar Hanif.

Karena yang mengalami intensitas hujan tertinggi pada 24-27 November 2025, Sumbar menjadi provinsi yang terdampak bencana cukup parah. Hanif mengatakan, tutupan hutan di Sumbar kurang dari 30 persen. Sementara kawasan hutannya hanya 38 persen.

"Ini yang kemudian memperparah terjadinya banjir; mulai dari adanya deforestasi, kemudian sifat geomorfologi tanah yang labil, dan curah hujan yang sangat tinggi," kata Hanif.

Sementara di Sumut, tambah Hanif, curah hujan pada 24-27 November 2025 lalu mencapai 110 milimeter per hari. Dia mengungkapkan, di Aceh, curah hujan pada periode yang sama lebih kecil, yakni 78 milimeter per hari. Namun cakupannya seluas lima juta hektare.

"Jadi kita bisa hitung, air yang turun pada hari itu, tidak kurang dari 15 miliar kubik untuk empat hari saja," kata Hanif.(*)

Halaman

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index