Pekanbaru,sorotkabar.com – Di tengah kompleksitas masalah kehutanan, ketimpangan data tata ruang, dan laju degradasi lingkungan di Provinsi Riau, secercah upaya kolektif mulai menyala. Dari ruang lokakarya sederhana di jantung Kota Pekanbaru, program RISE (Riau Integrative, Sumber Daya Tangguh dan Ekologis) resmi diluncurkan sebagai bentuk dorongan nyata bagi pembangunan berkelanjutan berbasis lanskap dan keterlibatan komunitas.
Earthworm Foundation, lembaga internasional yang bekerja di Indonesia melalui Yayasan Hutan Tropis (YHT), menggandeng berbagai pemangku kepentingan dari pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, hingga pelaku usaha. Mereka percaya bahwa transformasi ekologi dan sosial tak cukup hanya lewat kebijakan teknokratis — melainkan mesti menyentuh akar persoalan di desa-desa.
“Tujuan utama kami adalah melestarikan hutan tersisa sembari memperkuat fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial masyarakat,” ujar Dean Affandi, Lead Landscape Earthworm Foundation-YHT, saat memaparkan kerangka program RISE dalam lokakarya bertema “Memperkuat Ketahanan Melalui Pendekatan Lanskap yang Terpadu, Efektif, Kolaboratif, dan Berkelanjutan”, Kamis (17/7/2025).
Dean menjelaskan, program RISE fokus di tiga kabupaten dengan tekanan konversi lahan cukup tinggi: Kampar, Indragiri Hulu, dan Pelalawan. Di sana, mereka mengembangkan sistem rantai pasok berkelanjutan dan transparan, mendukung tata kelola lahan multistakeholder, serta mendorong diversifikasi mata pencaharian masyarakat desa.
“Kami tidak hanya bicara lingkungan, tapi juga ekonomi warga dan integrasi data. Program ini memadukan restorasi ekologi, keterlibatan sosial, dan keberlanjutan ekonomi,” kata Dean.
Ketimpangan Data dan Batas Desa SamarNamun upaya tersebut tak bebas hambatan. Ketimpangan data antara pemerintah, organisasi nonpemerintah (NGO), dan sektor swasta menjadi batu sandungan tersendiri dalam pembangunan berbasis tata ruang.
“Kami harap PLUP (Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif) bisa menjadi rujukan bersama, dari nasional hingga ke level desa,” ujar Purnama Irawansyah, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bappeda Provinsi Riau. Ia menilai, rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang terlalu makro tak mampu menjawab tantangan di tingkat tapak.
Menurutnya, dengan PLUP yang terintegrasi SDGs (Sustainable Development Goals), pemerintah dapat membandingkan kondisi desa di Indonesia dengan di negara lain. “Kalau RTRW kabupaten hanya berbicara komoditas, maka PLUP desa bisa lebih detail: kesuburan tanah, potensi hortikultura, bahkan isu keberlanjutan,” ujarnya.
Namun di lapangan, data dan peta batas wilayah acap kali berbeda. Hal itu dialami langsung oleh Bahrun, Manajer Lanskap EF-YHT. “Saat kami turun ke lapangan, batas desa versi pemerintah kabupaten tidak sesuai kondisi di lapangan. Ini membuat penyesuaian data sangat rumit,” tuturnya.
Menurut Bahrun, inkonsistensi data ini bukan semata masalah teknis, tapi juga menimbulkan ketidakpastian dalam penyusunan rekomendasi berbasis bukti. “Kami perlu bantuan pemerintah untuk pemutakhiran base map dan verifikasi lapangan. Tanpa itu, semua data lanskap yang kami bangun akan rapuh,” katanya.
Memperbaiki dari Akar
Pendekatan dari bawah atau bottom-up menjadi jalan yang ditempuh Earthworm Foundation. Muhammad Khotim, Manajer Sosial EF-YHT, menyebut pihaknya telah mengumpulkan data dari 25 desa dampingan. Di desa-desa itu telah diidentifikasi tumpang-tindih lahan antara warga dan perusahaan.
“Kami sudah punya data potensi, masalah, dan konflik tenurial. Ini akan kami serahkan ke pemerintah. Harapannya bisa dipakai sebagai dasar dalam perencanaan pembangunan wilayah,” ujar Khotim.
Ia juga menyoroti ketimpangan intervensi antar wilayah. “Di satu desa programnya berlimpah, tapi di desa lain nyaris tak tersentuh. Ini soal ketidakmerataan perhatian dan distribusi sumber daya,” ujarnya.
Masalah klasik lainnya adalah kesenjangan literasi ruang di tingkat tapak. “Bahkan masyarakat desa sendiri tidak tahu batas wilayahnya. Kita ingin mengisi celah itu melalui pelatihan, penguatan kapasitas, dan pemanfaatan teknologi informasi,” kata Kasmujiono, Manajer Hutan dan Karbon EF-YHT.
Ia berharap pemerintah membuka lebih luas akses informasi spasial dan tidak menyimpan data secara tertutup. “Kuncinya keterbukaan. Banyak persoalan bisa diselesaikan kalau datanya terbuka, akurat, dan bisa digunakan semua pihak,” ujar dia.
Jalan Panjang Menuju Ekosistem KolaboratifBagi Indira Nurtanti, Direktur Regional Indo-Pasifik Earthworm Foundation, peluncuran program RISE bukan sekadar seremonial. Ia menyebutnya sebagai perwujudan dari kepercayaan pada proses panjang membangun kolaborasi lintas sektor di Riau selama lebih dari lima tahun.
“Keberlanjutan hanya bisa dicapai lewat kolaborasi. Dengan pendekatan lanskap, pelibatan langsung masyarakat, dan kontribusi semua pemangku kepentingan sesuai perannya masing-masing, kita bisa percepat transformasi positif,” kata Indira.
Kepala Bappeda Riau, Purnama Irawansyah, menyebut program ini sejalan dengan visi Riau Berbudaya Melayu, Dinamis, Ekologis, Agamis, dan Maju. “Kami percaya, sinergi multipihak adalah kunci membangun pembangunan rendah karbon dan tata kelola hutan yang berkelanjutan,” ujarnya.
Lokakarya ini menjadi titik temu: antara kebijakan nasional dan kebutuhan lokal, antara aspirasi masyarakat dan data teknokratik, antara tantangan di atas kertas dan realitas yang hidup di desa-desa. Di tengah rimba persoalan tata ruang dan ketimpangan akses, program RISE hadir sebagai usaha menjahit kembali peta pembangunan yang lebih adil, lestari, dan inklusif.(*)