Provila Dipertahankan, Riau Hadapi PR Perlindungan Anak di Rumah dan Sekolah

Provila Dipertahankan, Riau Hadapi PR Perlindungan Anak di Rumah dan Sekolah
Kepala Dinas P3AP2KB Riau, Fariza

Pekanbaru,sorotkabar.com - Lengkaplah seluruh 12 kabupaten/kota di Riau dengan predikat KLA, yang kemudian mengantarkan provinsi ini meraih penghargaan Provila. Tahun ini, Riau bergabung dengan 12 provinsi lain seperti Bali, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Sumatera Barat, sementara dua provinsi, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat, terdepak dari daftar karena gagal mempertahankan capaian KLA di sejumlah daerahnya.

Namun, di balik penghargaan itu, tantangan perlindungan anak masih membayang. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak mencatat ada 522 kasus kekerasan terhadap anak di Riau sepanjang tahun berjalan. Dari jumlah itu, 176 kasus menimpa anak usia 0–12 tahun, kelompok yang seharusnya masih dalam masa bermain dan belajar di sekolah dasar. Kekerasan yang dialami beragam, mulai dari fisik, psikis, hingga seksual, dengan mayoritas pelaku justru berasal dari lingkungan terdekat korban: ayah kandung, ayah tiri, paman, maupun tetangga. Ada pula kasus yang terjadi di sekolah berupa perundungan dan perkelahian antar siswa.

Dari jumlah itu, korban terbesar berasal dari kelompok usia 0–12 tahun, yakni mencapai 176 anak. Kasus yang menimpa mereka beragam, mulai dari kekerasan fisik, psikis, hingga seksual. Mayoritas pelaku justru datang dari lingkungan terdekat korban: ayah kandung, ayah tiri, paman, bahkan tetangga.

“Bahwa anak-anak perlu didampingi. Kebanyakan kasus yang terjadi korbannya anak-anak itu pelakunya adalah orang keluarga sendiri ya kan? Mulai dari ayah kandungnya, ayah tirinya, kakak kandungnya, pamannya dan omnya,” kata Kepala Dinas P3AP2KB Riau, Fariza, kepada Goriau, Selasa (19/8/2025).


Menurut Fariza, angka tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan peningkatan kekerasan, melainkan juga menunjukkan bahwa masyarakat makin berani melapor. Hal ini dimungkinkan karena pemerintah provinsi telah membentuk UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) di kabupaten/kota, lengkap dengan rumah aman, pendamping psikologis, bantuan hukum, hingga layanan kesehatan. Semua layanan itu, ditegaskan Fariza, diberikan gratis.

“Walaupun kita mencatat ada 176 korban anak, itu justru memperlihatkan bahwa Riau sudah punya tempat pengaduan. Masyarakat tahu ke mana harus melapor, dan setiap kasus pasti ditangani,” ujarnya.

Ia menambahkan, pemerintah provinsi bersama kabupaten/kota terus menggalakkan pencegahan berbasis masyarakat. Melalui Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), sekolah, perguruan tinggi, PKK, hingga Dharma Wanita dilibatkan dalam edukasi dan deteksi dini kasus kekerasan. Di samping itu, Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) juga dibentuk untuk memberi ruang konsultasi bagi orang tua maupun anak.

Kendala dan Tantangan

Dalam wawancara bersama Goriau, Fariza menilai kendala terbesar mewujudkan Riau sebagai provinsi yang aman dan nyaman bagi anak justru terletak pada kesadaran kolektif. Menurutnya, sistem perlindungan anak tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah, melainkan harus menjadi tanggung jawab bersama masyarakat, LSM, media, dan dunia usaha.

“Korban kekerasan tidak pernah tahu mereka akan menjadi korban. Maka sistemnya harus dibangun dari unit terkecil, mulai dari rumah tangga, RT, RW, desa, hingga kelurahan. Kami sudah membentuk Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), tinggal bagaimana fungsinya dijalankan,” jelasnya.

Fariza menyebut sejak menjabat definitif pada 11 Maret 2022, dirinya terus mendorong terbentuknya sistem perlindungan terpadu di semua kabupaten/kota. Upaya itu juga didukung dengan keberadaan UPT PPA di daerah yang bertugas memberikan layanan darurat hingga pendampingan jangka panjang. Selain itu, ada pula Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) yang menyediakan layanan konseling bagi orang tua dan anak.

Strategi dan Komitmen Jangka Panjang

Lebih jauh, Fariza menjelaskan capaian Riau mempertahankan Provila bukan hasil instan, melainkan bagian dari Rencana Strategis (Renstra) lima tahun yang disusun Dinas P3AP2KB.

Menurutnya, setiap tahun dilakukan evaluasi atas predikat KLA di kabupaten/kota. “Kalau ada daerah yang tiga tahun berturut-turut masih berada di predikat sama, harus kita dorong agar naik tingkat. Begitu juga yang masih bertahan di predikat pertama, kita lakukan pendampingan intensif,” katanya.

Pendampingan itu dilakukan lewat rapat koordinasi, verifikasi administrasi, hingga pemanggilan khusus kabupaten/kota yang stagnan. Selain indikator teknis, kebijakan daerah juga menjadi penilaian penting. Fariza mengakui penghargaan Provila memang menjadi kebanggaan, tetapi yang terpenting adalah implementasi nyata perlindungan anak di lapangan.

“Setiap tahun kami sudah menyiapkan diri karena tugas ini memang bagian dari fungsi pokok kami. Namun penghargaan hanyalah pengakuan, yang lebih penting adalah bagaimana semua pihak menjalankan perannya agar kekerasan terhadap anak bisa dicegah,” tuturnya.(*)
 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index