Pekanbaru,sorotkabar.com - Kabar duka menyelimuti dunia konservasi satwa liar, tepat di momen peringatan Hari Gajah Sedunia, 12 Agustus 2025. Seekor anak gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) bernama Yuni, yang sebelumnya dilaporkan hilang dan terpisah dari induknya, ditemukan dalam kondisi tak bernyawa pada 11 April 2025.
Peristiwa ini menjadi luka mendalam bagi para pegiat konservasi, termasuk jajaran Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, yang telah berjuang keras untuk menyelamatkan anak gajah malang tersebut.
“10 Maret lalu, kami mengamankan seekor anak gajah betina yang terpisah dari kelompoknya di wilayah Gunung Mulya, Kecamatan Gunung Sahilan, Kabupaten Kampar,” ungkap Kepala BBKSDA Riau, Supartono, saat konferensi pers, Selasa (12/8/2025).
Setelah dievakuasi dari lokasi penemuan, Yuni dibawa ke Pusat Konservasi Gajah (PKG) Minas. Di sana, tim mencoba mengintegrasikannya dengan gajah betina dewasa lainnya, berharap salah satu di antaranya mau menjadi induk asuh bagi Yuni.
Namun sayangnya, upaya integrasi tersebut tidak membuahkan hasil.
“Tak ada satu pun gajah betina yang menerima keberadaan Yuni. Semuanya menolak,” kata Supartono.
Tim kemudian memindahkan Yuni ke PKG Sebanga di Bengkalis, di mana seekor gajah betina sedang mengasuh anaknya. Harapannya, insting keibuan sang induk bisa menyentuh hati untuk menerima Yuni. Namun, hasilnya sama—penolakan kembali terjadi.
Dengan tidak adanya induk asuh, tim medis bersama tiga mahout (pawang gajah) terpaksa merawat Yuni secara intensif. Ia diberi susu formula, buah-buahan, dan vitamin. Namun, trauma akibat terpisah dari induknya membuat Yuni kesulitan makan, tidak mau minum, dan menunjukkan perilaku agresif.
“Sekitar 8 April, kondisinya mulai memburuk. Kami memberikan infus dan makanan tambahan. Sempat membaik, tapi dua hari kemudian, kondisinya kembali kritis,” jelas Supartono.
Akhirnya, pada pagi hari 11 April 2025, Yuni ditemukan tak bernyawa di kandangnya. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi seluruh tim yang terlibat dalam penyelamatan.
BBKSDA Riau segera melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mengetahui penyebab pasti kematian Yuni. Sampel darah dan organ dikirim ke Laboratorium Medikal Satwa di Bogor untuk diuji terhadap kemungkinan infeksi virus Elephant Endotheliotropic Herpesvirus (EEHV), salah satu penyebab kematian mendadak pada anak gajah. Hasilnya, Yuni negatif EEHV.
Namun, hasil uji histopatologi mengungkapkan bahwa Yuni menderita pneumonia akut yang menyebabkan gagal napas, serta gastroenteritis parah yang menyebabkan dehidrasi, malnutrisi, ketidakseimbangan elektrolit, dan akhirnya hipovolemik syok (kondisi darurat akibat kehilangan cairan tubuh secara drastis).
“Stres berat yang dialami Yuni juga menjadi faktor utama yang menurunkan daya tahan tubuhnya, sehingga ia rentan terhadap berbagai penyakit,” tambah Supartono.
Kematian Yuni menjadi pengingat pedih bahwa perlindungan terhadap satwa liar, terutama spesies terancam punah seperti gajah sumatera, masih menghadapi banyak tantangan. Spesies ini masuk dalam status kritis menurut IUCN, dengan populasi yang terus menyusut akibat kehilangan habitat dan konflik dengan manusia.
BBKSDA Riau berharap peristiwa ini dapat menjadi momentum refleksi bersama, bahwa penyelamatan satwa liar bukan hanya soal teknis medis, tetapi juga menyangkut aspek psikologis, sosial, dan perlunya keterlibatan masyarakat.
"Kami kehilangan Yuni, tapi kami tidak kehilangan semangat. Ini menjadi bahan evaluasi dan motivasi untuk terus memperbaiki sistem penyelamatan dan rehabilitasi satwa liar,” tutup Supartono dengan mata berkaca-kaca. (*)