Pendidikan Agama Harus Wujudkan Nilai Kasih yang Membangun Kehidupan

Pendidikan Agama Harus Wujudkan Nilai Kasih yang Membangun Kehidupan
ANTARA FOTO/Olha MulalindaIlustrasi anak-anak Papua belajar.(Republik)

Jakarta,sorotkabar.com - Kementerian Agama Republik Indonesia meminta para guru di Papua menanamkan semangat cinta dalam setiap proses pendidikan, dengan begitu membantu anak-anak tumbuh bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berempati, peduli, dan berakhlak baik.

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kemenag RI, Jeane Marie Tulung, di Jayapura, Minggu, mengatakan di Papua nilai kasih dan kebersamaan merupakan fondasi sosial yang kuat, oleh sebab itu sangat penting diterapkan.

"Pada Jumat (31/10) kami telah memberikan pembinaan kepada para guru Satuan Pendidikan Keagamaan Kristen (SPKK) dan guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) bertempat di Kabupaten Jayapura, di mana dalam kegiatan tersebut mengingatkan agar menanamkan semangat cinta dalam setiap proses pendidikan," katanya.

Menurut Jeane, pendidikan tidak hanya berfokus pada capaian akademik, tetapi juga harus menumbuhkan nilai kasih kepada sesama, lingkungan, dan Tuhan.

“Mari wujudkan kurikulum berbasis cinta di setiap sekolah agar peserta didik tumbuh dengan karakter yang utuh,” ujarnya.

Pihaknya menyampaikan apresiasi kepada para guru di Papua yang tetap mengabdi di tengah keterbatasan. Saat ini terdapat 49 SPKK di Papua, mulai jenjang SD hingga SMAK.

“Tahun lalu ada satu SMTK di Papua yang dinegerikan dan itu bukti perhatian pemerintah terhadap sekolah keagamaan,” katanya lagi.

Dia menambahkan, secara nasional terdapat lebih dari 400 SPKK, namun baru 13 yang berstatus negeri. Pemerintah juga menargetkan penyelesaian antrean Pendidikan Profesi Guru (PPG) bagi 26 ribu guru pada 2025–2026.

"Kami berpesan agar para guru dengan bijak harus memanfaatkan teknologi, terutama menghadapi penyalahgunaan video berbasis kecerdasan buatan (AI). Gunakan teknologi untuk memperkaya metode belajar, bukan menggantikan nilai kasih," ujarnya lagi.

Kurikulum Berbasis Cinta

Kurikulum berbasis cinta adalah sebuah pendekatan holistik dalam pendidikan yang menempatkan kasih sayang, empati, dan hubungan manusiawi yang positif sebagai landasan utama dari seluruh proses belajar mengajar. Konsep ini melampaui kurikulum konvensional yang sering kali fokus pada aspek kognitif semata atau pencapaian akademis yang kering.

Dalam model ini, "cinta" dipahami secara luas, bukan hanya sebagai emosi romantis, melainkan sebagai sikap peduli yang mendalam terhadap perkembangan optimal setiap individu—baik siswa, guru, maupun staf sekolah. Tujuan utamanya adalah menciptakan lingkungan sekolah yang aman secara emosional, inklusif, dan suportif, yang memungkinkan potensi penuh anak didik berkembang secara alami dan optimal.

Landasan filosofis kurikulum ini adalah pengakuan bahwa manusia adalah makhluk emosional dan sosial. Pembelajaran paling efektif terjadi dalam suasana di mana siswa merasa dihargai, dipahami, dan dicintai. Ketika rasa aman emosional terpenuhi, otak siswa lebih reseptif terhadap informasi baru dan mampu mengembangkan fungsi kognitif yang lebih tinggi, seperti berpikir kritis dan pemecahan masalah.

Sebaliknya, lingkungan yang penuh tekanan, ketakutan, atau penghakiman dapat memicu respons stres yang menghambat kemampuan belajar. Oleh karena itu, cinta menjadi katalisator yang mengubah ruang kelas dari tempat transfer pengetahuan menjadi ruang transformatif untuk pertumbuhan pribadi.

Penerapan kurikulum berbasis cinta dimulai dari para pendidik. Guru dalam pendekatan ini berperan sebagai fasilitator dan mentor yang penuh empati, bukan sekadar penyampai materi. Mereka dilatih untuk mendengarkan aktif, memahami latar belakang dan tantangan unik setiap siswa, serta merespons dengan kesabaran dan kasih sayang.

Pelatihan guru mencakup pengembangan kecerdasan emosional dan keterampilan komunikasi antarpribadi yang efektif. Dengan demikian, guru menjadi teladan nyata dari sikap peduli dan hormat yang diharapkan juga akan diadopsi oleh para siswa dalam interaksi mereka sehari-hari.

Dalam interaksi kelas, kurikulum ini memprioritaskan pembangunan hubungan yang kuat antar siswa. Metode pembelajaran kolaboratif, diskusi kelompok, dan proyek bersama didorong untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan empati.

Konflik di kelas tidak dilihat sebagai masalah disiplin yang harus dihukum, melainkan sebagai kesempatan belajar untuk negosiasi, kompromi, dan memahami perspektif orang lain. Kegiatan-kegiatan seperti berbagi perasaan di awal kelas (morning circle) atau sesi refleksi rutin membantu siswa mengidentifikasi dan mengelola emosi mereka dengan cara yang sehat dan konstruktif, mengajarkan keterampilan hidup yang krusial.

Kurikulum berbasis cinta juga mengintegrasikan nilai-nilai etika dan moral secara eksplisit dalam semua mata pelajaran. Tidak hanya mengajarkan materi pelajaran, guru juga mengaitkan materi tersebut dengan nilai-nilai universal seperti kejujuran, rasa hormat, tanggung jawab, dan kepedulian terhadap lingkungan.

Misalnya, dalam pelajaran sains, siswa tidak hanya belajar ekosistem, tetapi juga didorong untuk mengembangkan rasa cinta dan tanggung jawab terhadap alam. Tujuannya adalah untuk mencetak individu yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki karakter yang kuat, berempati, dan siap menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

Evaluasi dalam kurikulum ini juga berbeda. Meskipun pencapaian akademis tetap penting, penilaian juga mencakup aspek perkembangan sosial-emosional dan karakter. Penggunaan metode penilaian autentik, seperti portofolio, observasi perilaku, dan penilaian diri, digunakan untuk mengukur pertumbuhan holistik siswa.

Sekolah berfokus pada kemajuan individu daripada membandingkan satu siswa dengan siswa lainnya, mengurangi tekanan kompetitif yang tidak sehat dan menumbuhkan lingkungan di mana setiap usaha dihargai, bukan hanya hasil akhir.

Sebagai kesimpulan, kurikulum berbasis cinta adalah investasi jangka panjang dalam kualitas manusia. Dengan menempatkan kasih sayang dan hubungan yang suportif di pusat pendidikan, pendekatan ini berupaya menciptakan generasi penerus yang tidak hanya kompeten secara intelektual, tetapi juga seimbang secara emosional, berempati, dan memiliki tujuan hidup yang bermakna.

Ini adalah panggilan untuk mereformasi pendidikan dari sekadar pengajaran yang bersifat transaksional menjadi pengalaman hidup yang transformatif dan manusiawi.(*) 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index