Jakarta, sorotkabar.com - Dunia sedang menanti keputusan penting dari perundingan The Intergovernmental Negotiating Committee (INC) ke-5 di Busan, Korea Selatan, yang berlangsung sejak 25 November hingga 1 Desember 2024.
Perjanjian Plastik Global (Global Plastic Treaty) bukan hanya langkah krusial untuk mengurangi polusi plastik, tetapi juga peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi pemimpin dalam membangun ekonomi hijau.
Menurut Profesor Ekologi dari Universitas Versailles Saint Quentin en Yvelines, Mateo Cordier dalam studinya yang berjudul “Reducing plastic production: economic loss or environmental gain?” menunjukkan bahwa polusi plastik di lautan dapat menyebabkan kerugian ekonomi global sebesar 13,7 hingga 281,8 triliun dolar Amerika Serikat (AS) dari tahun 2016 hingga 2040.
Bagi Indonesia, ini dapat berarti kehilangan hingga satu persen dari PDB. Angka tersebut menegaskan betapa pentingnya mengambil tindakan untuk melawan polusi plastik demi menghindari kerugian lebih besar di masa depan.
Hanya saja, temuan laporan terbaru dari Centre for Science and Environment India menunjukkan bahwa posisi Indonesia masih kurang tegas di beberapa area kunci. Untuk memaksimalkan manfaat perjanjian ini, Indonesia perlu memperkuat posisi negosiasinya dengan mendukung pengurangan produksi plastik dan pengembangan alternatif yang ramah lingkungan.
Meski telah mendukung transfer teknologi, Indonesia memiliki peluang besar untuk menunjukkan kepemimpinan yang lebih kuat dengan mendukung langkah-langkah konkret yang sejalan dengan kepentingan lingkungan dan ekonomi nasional.
Campaign Strategist Greenpeace Asia Tenggara, Rayhan Dudayrv mengatakan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengedepankan keselamatan masyarakat dari ancaman terhadap kesehatan dan lingkungan. Ini dengan memastikan posisi Indonesia tidak didominasi oleh kepentingan bisnis industri tertentu. Dia menjelaskan dengan mendorong hasil perjanjian plastik yang kuat akan menguntungkan ekonomi Indonesia.
Pihaknya memahami pentingnya menjaga perekonomian nasional sebagai pilar keberlanjutan negara. Oleh karena itu, selain berkomitmen terhadap keselamatan masyarakat Indonesia dan dunia, mereka mendorong Indonesia untuk mendukung inovasi bisnis berkelanjutan dan aman yang selaras dengan Perjanjian Internasional tentang Plastik - termasuk bisnis guna ulang yang salah satu elemen pendukung utamanya adalah pengurangan produksi plastik.
"Selain mengurangi angka emisi karbon dan mengurangi polusi plastik dari hulu, kebijakan yang dipilih ini juga akan menarik pendanaan inovatif yang ramah lingkungan," kata Rayhan dalam keterangannya, dikutip pada Kamis (28/11/2024).
Direktur Eksekutif Dietplastik Indonesia, Tiza Mafira mengatakan perjanjian ini perlu memberi solusi yang tegas terhadap permasalahan bahwa plastik sekali pakai adalah plastik yang paling banyak menimbulkan sampah dan tidak terdaur ulang. Studi Dietplastik Indonesia menunjukkan solusi guna ulang untuk menggantikan sachet berpeluang memberikan kontribusi nilai ekonomi bersih sampai dengan Rp 1,5 triliun pada 2030.
"Tentunya agar dapat tercapai, sistem guna ulang perlu memiliki standar dan infrastruktur yang memadai, dengan dukungan kebijakan pemerintah. Kami berharap Treaty memasukkan kewajiban setiap negara untuk memiliki target guna ulang, dan menegaskan prioritas kebijakan dan pendanaan pada pencegahan sampah, solusi hulu, tidak langsung ke pengelolaan hilir,” kata Tiza.
Perubahan prioritas kebijakan ini juga akan membuka lebih banyak lapangan kerja. Data dari C40, yaitu kumpulan kota-kota yang berinisiatif mencegah krisis iklim, mengungkapkan, sektor manajemen persampahan 97 kota anggotanya dapat menciptakan 2,9 juta pekerjaan dengan implementasi strategi zero-waste. Kebijakan yang mendukung proses guna ulang juga dapat menciptakan 200 kali lebih banyak pekerjaan dibandingkan cara-cara lama seperti pembakaran atau penimbunan sampah.
Indonesia sendiri saat ini diperkirakan menghasilkan sebanyak 7,8 juta ton sampah plastik pertahun, dengan 58 persen tidak terkumpul dan 9 persen-nya langsung dibuang ke sungai. Sebagai negara peringkat kelima dengan sampah plastik terbanyak yang masuk ke laut dari aliran sungai, mendukung Global Plastic Treaty merupakan langkah strategis, berpotensi menguntungkan ekonomi secara ekonomi. (*)