Pemerintah Diingatkan Dampak Perubahan Lanskap Pascabencana Batang Toru

Senin, 22 Desember 2025 | 21:25:51 WIB
Penampakan tumpukan batang kayu gelondongan memenuhi Sungai Garoga di Tapanuli Selatan, Sabtu (6/12/2025). Banjir bandang di Sungai Garoga membawa tumpukan kayu dalam jumlah besar. Desa Garoga, Kecamatan Batang Toru, menjadi salah satu daerah paling parah

Jakarta,sorotkabar.com — Banjir bandang dan topan Senyar di kawasan Tapanuli dinilai memunculkan risiko baru bagi keanekaragaman hayati Sumatra. Dampak bencana tidak hanya merusak infrastruktur, tetapi juga mengubah lanskap Ekosistem Batang Toru yang berimplikasi pada keselamatan manusia dan satwa.

Konservasi Indonesia menilai perubahan lanskap pascabencana menuntut respons kebijakan yang cepat dan berbasis data. Pemulihan yang dilakukan secara parsial dinilai berpotensi memperbesar tekanan ekologis.

Senior Vice President and Executive Chair Konservasi Indonesia Meizani Irmadhiany mengatakan perlindungan ekosistem harus berjalan seiring dengan keselamatan manusia. Ia menekankan pentingnya kebijakan terpadu dalam merespons kondisi pascabencana.

“Peristiwa di Batang Toru menunjukkan bahwa perlindungan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari keselamatan manusia. Penataan ruang adaptif, pengelolaan risiko bencana, dan perlindungan ekosistem harus berjalan bersama agar pembangunan benar-benar berkelanjutan,” kata Meizani, Senin (22/12/2025).

Konservasi Indonesia menilai perubahan fisik kawasan pascabencana mempertegas urgensi pendekatan berbasis data dalam perencanaan ruang. Tanpa pemahaman akurat terhadap perubahan lanskap, risiko ekologis dan sosial dinilai akan terus berulang.

Menurut organisasi tersebut, perubahan lanskap berpotensi memicu fragmentasi habitat akibat longsor dan pembukaan lahan. Perubahan alur sungai serta meluasnya aktivitas manusia juga dinilai meningkatkan risiko konflik manusia dan satwa liar.

Sumatra Policy Manager Konservasi Indonesia Dedy Iskandar mengatakan pertanyaan publik terkait temuan kayu di wilayah terdampak perlu dijawab melalui kajian ilmiah. Pemerintah dinilai membutuhkan dasar kebijakan yang kuat berbasis bukti.

“Kajian spasial pascabencana menjadi fondasi untuk memahami perubahan tutupan hutan dan lahan secara objektif. Namun perubahan lanskap Batang Toru tidak cukup dijelaskan hanya dengan peta, perlu kajian menyeluruh terhadap aktivitas pemanfaatan ruang,” ujar Dedy.

Dedy menilai Kelompok Kerja Ekosistem Batang Toru (POKJA EBT) memiliki peran strategis dalam koordinasi lintas sektor. Pemulihan pascabencana dinilai perlu bergerak dalam satu kerangka kebijakan bersama.

“Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Terpadu Ekosistem Batang Toru perlu segera didorong sebagai rujukan bersama, agar pemulihan, penataan ruang, dan perlindungan kawasan bergerak dalam satu arah,” katanya.

Konservasi Indonesia juga menilai sejumlah perhitungan dalam rencana tata ruang perlu ditinjau ulang pascabencana. Penyesuaian RTRW dinilai penting agar pengelolaan ruang berbasis pada kondisi ekologis terbaru.

Program Manager Batang Toru Konservasi Indonesia Doni Latuparisa mengatakan pengelolaan kawasan inti sangat dipengaruhi kondisi wilayah sekitarnya. Kerusakan di desa-desa penyangga dinilai meningkatkan tekanan terhadap ekosistem.

“Penataan ruang pascabencana akan lebih kuat jika melibatkan lintas sektor, termasuk Kementerian PUPR, karena berkaitan dengan pengelolaan daerah aliran sungai, infrastruktur, dan mitigasi bencana,” ujarnya.

Secara ekologis, Konservasi Indonesia mencatat keutuhan Batang Toru seluas sekitar 240 ribu hektare merupakan batas minimum fungsi ekosistem. Dalam lima tahun terakhir, pembukaan lahan tercatat sedikitnya 10 ribu hektare, dengan lebih dari 73 persen terjadi di wilayah hulu.

KI menegaskan pemulihan pascabencana harus dilakukan secara kolaboratif dan adaptif. Pendekatan berbasis data dinilai krusial agar Batang Toru tetap menjadi benteng keanekaragaman hayati Sumatra sekaligus ruang hidup yang aman bagi masyarakat sekitar.(*)

Halaman :

Terkini