Kenapa Mengemis CSR untuk Pembangunan Akses Jalan di Lingkungan Perusahaan-perusahaan Beroperasi?

Kenapa Mengemis CSR untuk Pembangunan Akses Jalan di Lingkungan Perusahaan-perusahaan Beroperasi?
Dr. H. Kalayo Hasibuan, M.Ed-TESOL

Oleh Dr. H. Kalayo Hasibuan, M.Ed-TESOL 
(Pemerhati Sosial & Kemanusiaan/Ketua Pembina Yayasan Anshor Putera Riau Sehati)

Dalam banyak daerah penghasil sumber daya alam di Indonesia, kondisi jalan yang rusak parah dan tidak layak dilalui sering kali menjadi pemandangan sehari-hari. Ironisnya, jalan-jalan tersebut justru berada di sekitar lokasi operasi perusahaan-perusahaan besar yang mengeruk keuntungan dari sumber daya setempat. Alih-alih menjadi prioritas pembangunan yang melekat pada tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), akses jalan kerap menjadi “proposal permintaan bantuan” dari masyarakat atau pemerintah daerah. Pertanyaannya: kenapa masyarakat harus mengemis CSR untuk sesuatu yang seharusnya menjadi bagian dari tanggung jawab perusahaan?

Suatu contoh adalah Jalan Sei Tenayan/Jalan Tenayan Jaya Ujung lama merupakan jalan yang umum yang telah eksis sejak tahun 1990-an. Namun jalan tersebut sempat tidak dapat dilalui sebagai akses jalan bagi warga sekitar (ditelantarkan karena kondisinya sering mengalami banjir pada musim penghujan) serta dengan dibangunnya Jalan 45/Trase III, yang walaupun pengerjaannya belum dapat menghubungkan jalan umum/Jl Matoa RT 01-RT03/RW 02 Kelurahan Industritenayan, warga sekitar pemanfaat jalan memanfaatkan jalan kebun PT Tri Perkasa sebagai jalan akses, yang saat ini telah diportal oleh PT Tri Perkasa.

Sementara, akses Jalan Sei Tenayan/Tenayan Jaya Ujung sebagai sarana utama bagi warga Kelurahan Industritenayan terutama baaik warga pemukim, pekebun serta pekerja yang bekerja di Perkantoran Walikota Pekanbaru dan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitarnya seperti PT Tri Perkasa, PT EMP, PLTU Tenayan, PT MRPR/PLTG Medco, dan PT GII, sangat memperihatinkan, sebagai mana diillustrasikan pada foto berikut (Jum’at, 19 September 20025), kondisi badan jalan yang tergenang air setinggi berkisar 1 meter; dan pembangunan Jembatan Jl. Sei Tenayan oleh PT EMP (Energi Mega Persada) Tbk.

Corporate Social Responsibility (CSR) bukanlah sedekah atau bantuan sukarela. Dalam konteks keberlanjutan, CSR merupakan bagian dari komitmen perusahaan untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan sosial dan lingkungan di sekitar wilayah operasional mereka (Carroll & Shabana, 2010).

Pembangunan infrastruktur dasar seperti akses jalan yang layak jelas masuk dalam kategori ini. Jalan bukan sekadar fasilitas transportasi—ia adalah urat nadi ekonomi, sosial, dan mobilitas warga.

CSR sejak awal dirumuskan sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Regulasi di Indonesia sudah jelas menyebutkannya: UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Pasal 74) menegaskan bahwa perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Hal ini dipertegas melalui PP No. 47 Tahun 2012 yang menegaskan CSR sebagai kewajiban, bukan pilihan.

Namun dalam praktiknya, banyak perusahaan justru menjadikan program CSR sebagai proyek pencitraan atau formalitas administratif semata. Pembangunan taman, pengecatan posyandu, atau bantuan sembako saat hari besar keagamaan memang terlihat “peduli”, tapi tidak menyentuh akar persoalan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Ketika warga atau masyarakat lokal harus menyusun proposal dan menunggu “keikhlasan” perusahaan untuk membangun akses jalan adalah bentuk relasi kuasa yang timpang.

Untungnya, di antara perusahaan-perusahaan seperti yang disebutkan di atas, masih ada  yang secara real, sedang berupaya supaya Jalan Sei Tenayan/Tenayan Jaya Ujung sebagai sarana utama transportasi dapat terwujud, yaitu PT EMP (Energi Mega Persada) Tbk, yang mana perusahaan ini berkomitmen membantu supaya Jalan Sei Tenayan dapat berfungsi sebagai akses utama transportasi. Sebagai upaya bersama agar Jl. Sei Tenayan dapat berfungsi sebagai akses utama transportasi masyarakat, Pondok Pesantren Durrotul Ilmi Al Islami - Yayasan Wakaf Mutiara Riau telah menghibahkan tanah timbun untuk digunakan dalam pekerjaan penimbunan badan jalan dengan dukungan dari PT EMP Tbk berupa bantuan peminjaman unit alat berat (1) Excavator (untuk pengambilan tanah timbun), (2) Grader dan (3) Vibro (untuk perataan dan pemadatan timbunan jalan) melalui Surat Lurah Industritenayan Nomor: 021/IT/PPM/IX/2025, tanggal 04 September 2025 perihal Surat Permohonan Peminjaman Alat Berat dengan Proposalnya dari Yayasan Anshor Putera Riau Sehati.

Selanjutnya, upaya mewujudkan Jl. Sei Tenayan supaya dapat berfungsi sebagai akses transportasi utama baik bagi masyarakat pemukim dan pekebun di sekitar Sei Tenayan juga bagi pekerja perusahaan-perusahaan besar seperti PLTU Tenayan, PT MRPR/PLTG Medco, PT GII, dll serta staf dan karyawan yang bekerja di Perkantoran PEMKO Pekanbaru, membutuhkan pengadaan atau pembiayaan armada  tanah timbun dan pembuatan/penanaman gorong-gorong atau boxculvert, hingga saat dari kontribusi dari masyarakat tidak mencukupi. Dengan demikian, sangat dibutuhkan kontribusi baik dari CSR perusahaan-perusahaan dan juga dari PEMKO Pekanbaru.

Kita harus berani mengatakan: pembangunan akses jalan di wilayah operasional perusahaan bukanlah bentuk kemurahan hati melalui upaya masyarakat ‘mengemis CSR”  tetapi bagian dari tanggung jawab “CSR Perusahaan”. Sudah saatnya kita berhenti mengemis dan mulai menuntut keadilan pembangunan.

Untuk itu, peran negara/pemerintahpun pun patut dipertanyakan. Pemerintah seharusnya menjadi regulator dan fasilitator utama yang memastikan perusahaan juga berkontribusi nyata terhadap pembangunan wilayah operasi. Sayangnya, tanggung jawab itu didelegasikan secara informal kepada masyarakat dalam bentuk “permohonan CSR”.

Sebagai penutup, mengapa masyarakat harus mengemis CSR untuk perbaikan jalan akses? Pertanyaan ini seharusnya menjadi refleksi bagi perusahaan, pemerintah, dan publik. CSR bukanlah hadiah, melainkan kewajiban hukum dan sosial yang harus dijalankan dengan konsisten. Jalan akses bukan hanya kebutuhan masyarakat, tetapi juga kepentingan perusahaan. Karena itu, sudah saatnya paradigma CSR bergeser dari sekadar filantropi menjadi investasi sosial bersama untuk keberlanjutan.

Daftar Pustaka:
Carroll, A. B., & Shabana, K. M. (2010). The Business Case for Corporate Social Responsibility: A Review of Concepts, Research and Practice. International Journal of Management Reviews, 12(1), 85–105.
PP No. 47 Tahun 2012 tentang CSR sebagai kewajiban, bukan pilihan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Pasal 74 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan).

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index