Pembayaran Uang Pesangon Akibat PHK Bolehkah Melebihi Ketentuan? (Putusan MK Nomor 168 /PUU-XXI/2023)

Pembayaran Uang Pesangon Akibat PHK Bolehkah Melebihi Ketentuan? (Putusan MK Nomor 168 /PUU-XXI/2023)
Mayandri Suzarman, S.H., M.H.

Oleh :
MAYANDRI SUZARMAN, S.H., M.H.,
Anak Lubuk Jambi Asli
Hakim Ad Hoc PHI PN Padang Kelas 1A

Untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Untuk itu, Pemerintah Indonesia telah membuat Undang-undang Nomor 2 tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang telah dirubah menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan PERPPU Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, dengan harapan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya ditengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja ini telah mengubah dan mencabut ketentuan-ketentuan dalam berbagai undang-undang, termasuk dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Salah satu Pasal dalam UU 13/2003 yang dirubah oleh UU 6/2023 ini adalah Pasal 156 ayat (2). Dalam UU 13/2003 Pasal 156 ayat (2) ini berbunyi “Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut: a. …”. Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 47 UU 6/2023 ketentuan tersebut dirubah dengan menghilangkan kata “ Paling sedikit” sehingga berbunyi “ Uang Pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: …”

Pasal 156 ayat (2) UU 13 /2003 berbunyi “ (2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut: a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah. h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Pasal 156 ayat (2)  dalam Pasal 81 angka 47 UU 6 /2025 berbunyi “ (2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah. h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
    Perubahan ini tentu merugikan kepentingan pekerja/buruh yang di terhadapnya dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja. Karena dengan berubahnya kata “Paling Sedikit” menjadi  “…diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: …” tersebut, menutup kemungkinan terhadapnya diberikan hak-hak akibat PHK melebihi dari ketentuan.

Kata “Paling Sedikit” tentu bermakna paling minimum, sehingga dengan demikian tidak menutup kemungkinan terhadap pekerja/buruh yang di PHK akan diberikan haknya melebihi ketentuan oleh perusahaan dengan alasan untuk menghargai jasa dan dedikasi pekerja/buruh yang sudah mengabdi secara maksimal di suatu perusahaan.

Tidak demikian halnya dengan ketentuan “…diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: …” tersebut. Hal ini berarti tertutupnya peluang bagi suatu perusahaan untuk memberikan lebih dari yang ditentukan karena pemaknaanya bersifat defenitif.
    Terhadap perubahan itu, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 168/PUU-XXI/2023, memberikan angin segar kepada Pekerja/buruh, dengan  menyatakan frasa “diberikan dengan ketentuan sebagai berikut” dalam Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 47 UU 6/2023, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “paling sedikit”;
    Hal ini berarti, semenjak putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 tersebut diucapkan, maka pemberian hak PHK kembali lagi pemaknaannya kepada Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003 yakni “Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:….”

Putusan tersebut diambil Mahkamah Konstitusi dengan pertimbangan salah satunya merujuk pada ketentuan Pasal 4 huruf c UU 13/2003 yang menyatakan tujuan pembangunan ketenagakerjaan yang menjadi landasan dibentuknya UU 13/2003 salah satunya menyatakan, memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan. Dalam kaitan ini, upaya untuk menjamin kelangsungan hidup pekerja/buruh yang terkena PHK seharusnya tidak boleh menutup peluang bagi perusahaan untuk memperhitungkan pemberian uang pesangon yang melebihi dari yang ditentukan dalam Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 47 UU 6/2023. Terlebih, pekerja telah mengabdi dengan penuh dedikasi untuk produktivitas perusahaan
Maka dengan demikian, apabila perusahaan melakukan PHK kepada pekerja/buruh, sebagai wujud rasa terimakasih atas pengabdian dan dedikasi selama bekerja maka perusahaan dapat memberikan hak PHK melebihi ketentuan Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 47 UU 6/2023.

Pun begitu juga menurut penulis, dengan Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara PHK di pengadilan Hubungan Industrial. Jika berkaca kepada putusan MK tersebut, maka berdasarkan ketentuan Pasal 100 UU 2/2004 tentang Penyelesaian Perselihan Hubungan Industrial yang menyatakan Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbang-kan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan, DAPAT saja memberikan hak akibat PHK kepada pekerja/buruh melebihi ketentuan Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 47 UU 6/2023, apatah lagi seandainya terdapat bentuk kesewenang-sewenangan atau tindakan tidak fair yang dilakukan oleh perusahaan terhadap tindakan PHK tersebut. NAMUN putusan tersebut tentu harus juga berdasarkan kepada fakta-fakta dan bukti-bukti hukum yang disajikan didalam ruang persidangan oleh para pihak.(*)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index