Walhi Riau dan YLBHI-LBH Pekanbaru Kritik Komisi VI DPR soal Proyek Rempang Eco City

Walhi Riau dan YLBHI-LBH Pekanbaru Kritik Komisi VI DPR soal Proyek Rempang Eco City
Walhi Riau dan YLBHI-LBH Pekanbaru Kritik Komisi VI DPR soal Proyek Rempang Eco City

Pekanbaru,sorotkabar.com – Walhi Riau dan YLBHI-LBH Pekanbaru mengkritisi jalannya Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Komisi VI DPR RI di Gedung Senayan, Jakarta, Senin (15/9/2025). 

Sejumlah isu krusial terkait penolakan relokasi warga Rempang mengemuka dalam rapat yang juga membahas Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) BP Batam tahun 2026.

RDP yang disiarkan melalui kanal YouTube TVR Parlemen itu menuai sorotan karena dinilai mengabaikan aspirasi masyarakat terkait polemik proyek Rempang Eco City, yang sejak awal mendapat penolakan dari masyarakat adat maupun warga tempatan.

BP Batam dalam rapat menyebut relokasi warga dilakukan tanpa kekerasan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Pada 2 Mei 2025, BP Batam bersama Tim Terpadu melakukan penggusuran paksa terhadap lahan seluas lebih dari 8.000 meter persegi milik Erlangga Sinaga di Kampung Tanjung Banun. Lalu pada 7 Agustus 2025, rumah milik Rusmawati di lokasi yang sama juga digusur paksa.

Peristiwa ini disebut tidak manusiawi karena menyebabkan trauma bagi salah satu anggota keluarga, Nek Nur, yang mengalami perlakuan tidak wajar.

Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim Walhi Riau, Ahlul Fadli mengatakan, pendekatan yang dilakukan BP Batam sejak awal bertentangan dengan UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). "Sejak awal proyek ini tidak memberikan ruang partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan pada proses perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi," ujarnya.

Ketidakjelasan Data Relokasi dan Penolakan Warga

BP Batam menyatakan sekitar 400 kepala keluarga telah menerima relokasi. Namun, klaim ini dianggap tidak masuk akal karena hingga kini tidak pernah dipublikasikan data konkret mengenai penerima relokasi, termasuk apakah benar berasal dari warga asli Rempang atau dari luar daerah.

Mayoritas masyarakat Rempang tetap menolak relokasi dan berkomitmen mempertahankan kampung tua mereka. Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, Andri Alatas, menyebut tindakan BP Batam, termasuk penggusuran paksa, melanggar hukum dan hak asasi manusia (HAM).

"Setiap orang berhak mempertahankan kampung yang menjadi ruang hidupnya, dan negara wajib menjamin hak tersebut. Jangan justru melanggengkan kekerasan," tegasnya. Ia menambahkan, masyarakat telah mampu memenuhi kebutuhan hidup dari hasil kebun dan laut, sehingga proyek Rempang Eco City justru menjadi ancaman bagi ruang hidup mereka ke depan.

DPR Dinilai Tutup Mata

Ahlul Fadli juga mengkritik sikap Komisi VI DPR RI yang dinilai tidak berpihak pada warga. Menurutnya, fokus rapat hanya pada anggaran dan investasi, tanpa menyentuh persoalan hak ulayat, trauma akibat kekerasan, serta kriminalisasi warga yang telah dilaporkan ke Ombudsman dan Komnas HAM.

"BP Batam mengklaim relokasi berjalan humanis, tapi faktanya warga kehilangan akses laut yang menjadi sumber penghidupan utama mereka. Komisi VI seolah menutup mata terhadap penderitaan warga Rempang," jelasnya.

Walhi Riau dan YLBHI-LBH Pekanbaru mendesak BP Batam menghentikan pendekatan represif serta menghormati hak warga atas tanah dan ruang hidup mereka. Keduanya juga menuntut Komisi VI DPR RI lebih serius mengawasi kinerja BP Batam, bukan justru mendukung kelanjutan proyek strategis nasional Rempang Eco City tanpa solusi nyata bagi warga.

Hingga kini, masyarakat Rempang tetap berjuang mempertahankan kampung mereka. (*) 
 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index