Jakarta,sorotkabar.com - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengungkapkan alasan banyak penggilingan padi tidak beroperasi di Karawang. Dari 23 penggilingan yang dipantau Ombudsman di Kecamatan Tempuran, Karawang, 10 di antaranya sudah berhenti beroperasi.
Saat meninjau penggilingan yang masih beroperasi, Yeka menemukan tumpukan sekam padi hasil proses penggilingan. Namun, ia justru terkejut karena stok beras di penggilingan tersebut sangat minim.
“Jadi stok beras di penggilingan itu sekitar 5%-10% dari normal. Hitungan normal stok itu ternyata berbeda-beda setiap penggilingan,” jelas Yeka dalam Diskusi Publik Paradoks Kebijakan Hulu-Hilir Perberasan Nasional di gedung Ombudsman RI, Selasa (26/8/2025).
Menurutnya, berdasarkan diskusi dengan pengusaha penggilingan, stok beras biasanya disimpan untuk kebutuhan satu hingga tiga bulan. Besaran stok ini menyesuaikan kemampuan masing-masing penggilingan.
“Saya tanya (ke pengusaha penggilingan), kalau stok aman sebulan, berapa biasanya jualan? 10 ton. Jadi kalau sebulan itu 300 ton. Ada juga yang stok aman tiga bulan, biar kerjanya nyaman tidak kepikiran,” terangnya.
Meski demikian, hasil sidak menunjukkan stok beras di penggilingan hanya 5%-10% dari kapasitas normal. Sebaliknya, Yeka menemukan stok beras justru melimpah di gudang Perum Bulog.
“Di Bulog, stok luar biasa. Semenjak saya di Ombudsman, saya ke gudang Bulog, begitu buka gerbang itu langsung terlihat berasnya,” ungkapnya.
Selain persoalan stok, Yeka menyoroti harga gabah kering panen (GKP). Ia menyebut harga terendah saat ini Rp 7.400 per kilogram, sedangkan harga pembelian pemerintah (HPP) hanya Rp 6.500 per kilogram. Bahkan, di beberapa tempat, harga gabah bisa mencapai Rp 8.400 per kilogram.
“Apakah harga seperti itu wajar? Kalau kita tengok pada tahun lalu di periode yang sama (Agustus sampai akhir tahun), ya segituan juga,” jelas Yeka.
Ia menambahkan, tahun lalu sempat muncul kekhawatiran harga gabah bisa menembus Rp 10.000 per kilogram. Namun, pada akhirnya harga bertahan di kisaran Rp 8.400 per kilogram.
“Saya tanya lagi ke petani, kalau harga seperti itu untung dong? Namun senyumnya petani malah ketus. Jadi saya bingung,” kata Yeka.
Menurutnya, keluhan petani bukan soal harga jual gabah semata. Petani menilai harga belum mencerminkan kondisi produksi yang penuh risiko, termasuk biaya modal dan potensi gagal panen.
“Kata petani, ya bapak jangan lihat sekarang. Bapak lihat dong produksinya berapa, kegagalan panen sebelumnya berapa, hutang kami berapa. Jadi intinya, di petani itu harga belum tentu mencerminkan kesejahteraan. Harga yang bagus belum tentu pendapatan mereka sejahtera,” tegas Yeka.(*)