Tarif Impor 32 Persen, Industri Tekstil Terancam PHK 70.000 Karyawan

Tarif Impor 32 Persen, Industri Tekstil Terancam PHK 70.000 Karyawan
Ilustrasi industri tekstil. (Antara/Abdan Syakura)

Jakarta,sorotkabar.com - Kenaikan tarif impor Amerika Serikat (AS) sebesar 32% membuat industri tekstil tanah air sesak nafas. Bayang-bayang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun kembali menghantui industri tekstil.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana menilai, jika negosiasi terkait tarif impor AS tidak berhasil, maka risikonya sangat besar terutama bagi produk tekstil dan garmen tanah air. Hal itu mengingat ekspor produk tekstil dan garmen ke Amerika mencapai sekitar 40% dari keseluruhan ekspor internasional.

Danang mengatakan, efek dari kenaikan tarif tersebut akan berakibat pada turunnya permintaan dari pembeli (buyer) seiring tarif impor ke AS sebesar 32% ditanggung langsung oleh para importir. Turunnya permintaan akan berpengaruh pada turunnya kapasitas produksi tekstil di Indonesia yang artinya bakal ada efisiensi tenaga kerja.

Terlebih lagi, Indonesia kalah saing dengan negara lain seperti Vietnam karena tarif impor mereka ke AS yang dipatok lebih rendah sebesar 20%. Situasi ini tentu membuat importir AS akan berpikir ulang untuk beli bahan dari Indonesia. Dalam konteks industri tekstil, Vietnam juga lebih unggul dengan kapasitas produksi yang lebih besar.

"Kalau tarif diterapkan 32%, maka produksi akan berkurang dan buruh akan menjadi program efisiensi yang paling awal. Kita tidak berharap itu terjadi, tapi kita harus pikirkan skenario terburuk," ungkap Danang dalam Investor Market Today, Kamis (10/7/2025).

Danang memperkirakan, kemungkinan 50.000-70.000 pekerja bakal terkena dampak efisiensi sejalan dengan kapasitas produksi yang dirampingkan. Berkaca dari tahun covid, hampir 30 perusahaan di tanah air melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 120.000 pekerja sejalan dengan melambatnya perekonomian.

Dia pun berharap pemerintah dapat melakukan negosiasi terbaik dengan tenggat waktu singkat hingga 10 Agustus 2025 mendatang. Sulit memang untuk meminta bebas tarif impor, namun pemerintah mungkin bisa bernegosiasi agar tarif 32% tidak berlaku secara menyeluruh, tetapi bisa disesuaikan dengan kondisi per sektor.

Menurut Danang, tarif impor boleh saja dikenakan 32%, namun mungkin bisa dipertimbangkan pada produk di sektor yang punya indeks kompetitif tinggi dengan negara lain. Di sektor lain, tarif impor diharapkan bisa lebih rendah.

Perlu digarisbawahi, lanjut Danang, bukan berarti harus mengorbankan sektor lain. Namun   perlu ada lokomotif sektor untuk mempererat hubungan dagang dengan AS seperti tekstil yang memiliki potensi perdagangan lebih intens dengan AS.

Industri padat karya manufaktur dapat membangun ketahanan ekonomi nasional karena bisa serap tenga kerja dalam waktu singkat dengan jumlah masif. Berbeda dengan sektor seperti teknologi yang cenderung tidak membutuhkan tenaga kerja.

"Kami menyarankan pemrintah untuk negosiasi tarif agar dilalkukan per sektor untuk mendapatkan tarif masuk yang berbeda-beda," ucapnya.(*) 
 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index