Pekanbaru,sorotkabar.com – Direktur Eksekutif Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring menilai upaya penertiban kawasan hutan oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dilakukan secara sembrono tanpa perencanaan pemulihan.
"Kunjungan Satgas PKH pada 10 Juni 2025 menyampaikan perintah kepada seluruh masyarakat untuk relokasi mandiri dari kawasan TNTN dengan tenggat waktu hingga 22 Agustus 2025 ini berisiko menimbulkan konflik besar jika pendekatan dilakukan secara militeristik dan represif," ujarnya kepada GoRiau.com, Senin (23/6/2025).
Ia meminta agar negara tidak mengulangi pola penyitaan kebun sawit seperti dalam kasus Surya Darmadi dan PT Duta Palma. "Pengalihan aset ke PT Agrinas Palma Nusantara tidak menunjukkan komitmen pemulihan hak masyarakat adat dan lingkungan hidup. Negara justru membiarkan konflik dan aktivitas ilegal berlanjut," tambahnya.
Dikatakannya, TNTN awalnya merupakan kawasan hutan produksi terbatas dalam konsesi HPH PT Inhutani IV. Lalu, pada 2004, kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional seluas 83.068 ha yang kemudian didefinitifkan menjadi 81.793 ha pada 2014. Namun, data Walhi Riau menunjukkan tutupan hutan alami kini hanya tersisa 12.561 ha atau 15,36% dari total luas.
Secara administratif, TNTN berada di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu. Berdasarkan laporan Eyes on The Forest (EoF) tahun 2010, aktivitas masyarakat telah berlangsung sejak 1999 akibat ketiadaan kegiatan PT Inhutani IV yang izinnya dicabut pada tahun 2002. Danj jual beli lahan dimulai pada 2005, hingga memicu perambahan skala besar oleh berbagai pihak.
Dikatakannya, saat penetapan TNTN, telah ada enam desa definitif: Air Hitam, Lubuk Batu Tinggal, Simpang Kota Medan, Lubuk Kembang Bunga, Kesuma, dan Segati. Pada 2007, Desa Bagan Limau dimekarkan. Perambahan juga terjadi pada bekas areal HPH PT SRT dan PT Hutani Sola Lestari, serta disebabkan oleh perizinan PBPH dan perusahaan sawit di zona penyangga seperti PT RAPP.
Laporan EoF juga mencatat TNTN merupakan wilayah kelola 19 kelompok hak ulayat. Peran penegak hukum yang lemah dan legalisasi pemukiman memperparah alih fungsi hutan. UU Cipta Kerja turut memperparah keadaan dengan menghapus pertanggungjawaban pidana atas aktivitas perkebunan sebelum November 2020.
Sementara itu, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat Walhi Riau, Eko Yunanda menekankan pentingnya penertiban dengan semangat penghormatan HAM dan pemulihan lingkungan.
Hal senada juga disampaikan Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, Andri Alatas, yang meminta klasifikasi berdasarkan luas penguasaan lahan:
1. Masyarakat menguasai 5 tahun,
2. Penguasa lahan >25 ha,
3. Penguasa 5–25 ha perlu identifikasi lebih lanjut.
"Ada masyarakat yang selama belasan tahun dibiarkan negara menetap dan beraktivitas. Keberadaan desa dan fasilitas menunjukkan pembiaran oleh negara. Kesalahan ini tak boleh dibalas dengan tindakan represif," ungkap Andri.
Ia menegaskan hukum harus selektif dan mengutamakan penindakan terhadap pemodal besar. Eko menambahkan, pemulihan TNTN perlu mempertimbangkan aspek sosial, termasuk jangka benah dan penggantian tanaman sawit dengan tanaman hutan.
"Relokasi tiga bulan ini terlalu gegabah. Dampaknya bukan hanya soal tempat tinggal, tapi juga pekerjaan, pendidikan, dan keberlanjutan hidup masyarakat," paparnya.
Eko menegaskan bahwa upaya penyelamatan hutan TNTN harus melibatkan masyarakat dan menjauhi preseden buruk seperti pengalihan ke PT Agrinas Palma Nusantara. "Komitmen pemulihan harus tegas, minimalkan pendekatan represif dan lakukan penegakan hukum yang adil," tutupnya. (*)