Ahli Sebut Penggunaan UU Tipikor di Kasus Pertambangan PT Timah Dipaksakan

Ahli Sebut Penggunaan UU Tipikor di Kasus Pertambangan PT Timah Dipaksakan
Ilustrasi sidang. Foto: dokumen JPNN

Jakarta,sorotkabar.com  - Sejumlah ahli hukum pidana menyebut penggunaan undang-undang tindak pidana korupsi dalam kasus pertambangan yang melibatkan PT Timah tidak sesuai dan dipaksakan.

Ahli hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Prof. Eva Achjani Zulfa menyatakan bahwa penerapan hukum pidana harus berpegang pada asas legalitas dan tidak boleh dipaksakan jika tak sesuai dengan norma yang ada.

Menurut Eva, salah satu dasar dalam hukum pidana adalah asas pertanggungjawaban individu yang berarti setiap orang hanya bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan berdasarkan peran masing-masing.

"Dalam hukum pidana, tanggung jawab itu bersifat individual, bukan seperti perdata yang mengenal tanggung renteng. Oleh karena itu, kita harus melihat peran setiap individu dalam kasus pidana, bukan memukul rata semua orang yang terlibat," kata Eva dalam sidang lanjutan kasus korupsi PT Timah di PN Jakarta Pusat, Senin (2/12).

Eva menjelaskan bahwa penyertaan dalam tindak pidana memiliki beberapa kategori, seperti menggerakkan, menyuruh, atau turut serta.

Dia mencontohkan, jika ada individu yang diperdaya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa mengetahui bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana, maka tidak dapat dimasukkan sebagai pelaku.

“Seseorang yang tidak tahu bahwa dia diperdaya untuk membuka rumah (orang untuk mencuri), misalnya, tidak bisa dianggap sebagai peserta delik,” ungkap Eva.

Lebih lanjut Eva juga menyoroti Pasal 14 UU Tipikor dalam kasus  dugaan korupsi PT Timah . Eva menyatakan kerugian yang timbul pada anak perusahaan BUMN/BUMD yang tidak berasal dari APBN, penyertaan modal negara, fasilitas negara, itu bukanlah kerugian negara.

“Kalau kerugian tidak termasuk dalam kategori yang diatur oleh norma UU Tipikor, maka asas legalitas harus dijaga. Tidak bisa kita memaksakan analogi atau mengembangkan norma hukum di luar yang dirumuskan dalam undang-undang,” paparnya.

Eva menjelaskan bahwa Pasal 14 UU Tipikor sudah memiliki batas yang jelas, sehingga jika dianggap ada masalah atau kekurangan dalam aturan tersebut, solusinya adalah melakukan judicial review atau uji materi.  

"Asas legalitas merupakan prinsip utama yang harus dijalankan. Jika norma tidak mencakup kasus tertentu, kita harus menguji ulang melalui judicial review, bukan memaksakan penerapan undang-undang (tipikor)," tambahnya.  

Sementara itu, saksi ahli dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum menyatakan bahwa UU Tipikor bukanlah UU "sapu jagat" untuk semua kasus yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara. 

“Kalau semua yang merugikan keuangan negara dianggap sebagai tipikor, itu berbahaya. Karena nelayan yang menangkap ikan secara ilegal (illegal fishing) bisa dijerat UU Tipikor. Jangan nanti orang menggali tanah dianggap merusak lingkungan, bisa dikenakan pasal tipikor. Fakta-faktanya kita lihat dahulu,” jelasnya. 

Mahmud juga menjelaskan bahwa UU Tipikor sebagai aturan khusus (lex spesialis) tidak dapat serta merta diterapkan pada berbagai kasus. 

Penerapannya hanya berlaku jika tidak ada UU lain yang secara spesifik mengatur perbuatan tertentu.

Jika terdapat UU khusus yang relevan, maka UU tersebut harus didahulukan.  

“Jika ada dua UU khusus yang saling bertemu, maka kita harus melihat domain perbuatannya terlebih dahulu. Misalnya, jika UU Tipikor berbenturan dengan UU Kepabeanan, UU Perbankan, UU Perpajakan, atau UU Minerba, belum tentu UU Tipikor yang digunakan,” ujar Mahmud. (*)
 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index