Sydney, Beritasatu.com – Terbuai janji kehidupan yang lebih baik dari pacar daringnya, Chantha menikah pada usia 15 tahun. Harapan itu pupus ketika ia justru terjerat utang dan harus mengasuh anak, alih-alih melanjutkan pendidikan.
Chantha, remaja asal Kamboja, menjadi satu dari 251 studi kasus dalam laporan State of the World’s Girls 2025 yang dirilis Plan International. Laporan tersebut menyoroti meningkatnya risiko pernikahan anak di era digital, terutama akibat relasi yang bermula dari media sosial.
Kisah Chantha bermula saat ia berusia 14 tahun, ketika pertama kali memiliki telepon seluler. Ia kemudian berkenalan dengan pria berusia 22 tahun melalui Facebook. Hubungan daring itu berkembang cepat dan berujung pada pernikahan setahun kemudian.
“Saya pikir dia bisa membantu saya memiliki kehidupan yang lebih nyaman,” kenang Chantha.
Namun realitas berkata lain. Kini Chantha tinggal bersama suami dan putrinya yang baru berusia lima bulan. Tekanan ekonomi dan tanggung jawab rumah tangga membuatnya kewalahan.
“Sebelum menikah, saya tidak perlu khawatir tentang apa pun. Sekarang, saya harus khawatir tentang pekerjaan, anak-anak, dan segalanya,” ujarnya.
CEO Plan International Australia, Susanne Legena, menyebut kasus Chantha sebagai sebuah paradoks. Teknologi memang membuka ruang koneksi baru, tetapi pada akhirnya tetap mengulang tragedi lama berupa perjodohan dan pelarian berisiko dari kemiskinan.
Laporan tersebut mencatat sekitar 12 juta anak perempuan di dunia menikah sebelum usia 18 tahun setiap tahunnya. Media sosial menciptakan ilusi kebebasan memilih pasangan, tetapi pada saat yang sama meningkatkan kerentanan terhadap pernikahan anak.
Hampir separuh responden menikah dengan pria yang usianya setidaknya lima tahun lebih tua, bahkan dalam beberapa kasus selisih usia mencapai 10 hingga 20 tahun. Para pelaku kerap memanfaatkan keluguan dan kesulitan ekonomi korban.
“Janji cinta, hadiah, dan kebebasan dari kemiskinan menjadi jebakan yang memikat bagi seorang gadis berusia 14 atau 15 tahun,” jelas Legena.
Pernikahan digambarkan sebagai “tiket emas” menuju kehidupan yang lebih baik.
Di Bangladesh, Direktur organisasi pemuda KaathPencil, Samia Khan Priya, menyebut fenomena ini sebagai krisis serius. Banyak orang tua mendorong anak-anak mereka menggunakan media sosial untuk belajar, tetapi tidak memahami dampak jangka panjangnya.
Ketika mengetahui anak mereka menjalin hubungan daring, rasa takut terhadap stigma sosial justru mendorong orang tua menekan anak untuk menikah muda.
“Mereka takut jika putri mereka kabur dari rumah bersama laki-laki atau hamil di luar nikah, itu akan mempermalukan keluarga,” kata Samia.
Selain meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga, pernikahan anak merampas hak pendidikan dan memperkuat lingkaran kemiskinan. Menurut Legena, pemutusan siklus ini harus dimulai dari pendidikan keterampilan digital.
“Banyak anak perempuan sama sekali tidak tahu bagaimana mengenali rayuan daring,” ujarnya.
Perubahan persepsi publik juga menjadi kunci. Plan International mencontohkan seorang guru perempuan berusia 21 tahun di Kamboja yang dipaksa menikah saat berusia 15 tahun, tetapi dengan gigih menolak. Meski dicap sebagai “wanita yang belum menikah” oleh lingkungannya, ia kini menjadi teladan bahwa perempuan dapat mengendalikan hidupnya melalui pendidikan dan pekerjaan.(*)