Jakarta,sorotkabar.com - Center of Reform on Economics (Core) mengestimasi biaya pemulihan infrastruktur fisik di tiga provinsi terdampak bencana Sumatera yakni di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akan mencapai lebih dari Rp 77,4 triliun.
Dalam riset Core Insight bertajuk "Konsekuensi Ekonomi di Balik Duka Sumatera" dijelaskan bahwa angka estimasi tersebut didasarkan pada data kerusakan infrastruktur fisik yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 15 Desember 2025.
"Angka estimasi ini jauh lebih besar dibandingkan dengan dana yang disiapkan oleh pemerintah pusat untuk mendukung pemulihan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebesar Rp 60 Triliun," begitu dikutip dalam keterangan resmi yang diterima Minggu (28/12/2025).
Angka estimasi itu juga disebut bisa saja di bawah angka sebenarnya, karena perkembangan di lapangan yang masih dinamis. Oleh karenanya, Core menilai alokasi Rp 60 Triliun tidak akan cukup untuk memulihkan Sumatera.
Bahkan, Core mengungkapkan, angka estimasi pemulihan sebesar Rp 77,4 Triliun tersebut belum termasuk komponen kerugian non-fisik yang datang dari merosotnya produktivitas tenaga kerja akibat lumpuhnya aktivitas ekonomi lokal.
"Mulai dari aktivitas perdagangan di pasar tradisional dan ritel modern, produksi di industri kecil dan menengah (UMKM), menurunnya kualitas kesehatan tenaga kerja aktif, trauma psikis yang meningkat, dan naiknya tingkat stres karena tekanan batin," jelasnya.
Core mengestimasi bahwa dampak non-fisik membutuhkan biaya yang tidak kalah besar dibandingkan pemulihan infrastruktur fisik.
Biaya mahal pemulihan non-fisik juga termasuk dialami rumah tangga dan anak-anak. Dengan jumlah anak dan remaja yang tidak sedikit di tiga provinsi terdampak, dibutuhkan biaya besar untuk mengejar ketertinggalan anak dalam kegiatan belajar mengajar.
Core memperkirakan, perbaikan infrastruktur fisik yang tidak maksimal, dukungan pengiriman guru dan tenaga kesehatan yang terbatas, serta terbatasnya tenaga para relawan akan mempengaruhi proses pemulihan trauma anak-anak dan remaja.
"Lebih jauh, hal ini berpotensi memengaruhi kualitas kognitif anak-anak di daerah terdampak dalam beberapa tahun ke depan," pungkasnya.(*)