Revisi UU BUMN Picu Pro dan Kontra di Pasar Modal

Revisi UU BUMN Picu Pro dan Kontra di Pasar Modal
Ilustrasi IHSG. (Antara/Bayu Pratama)

Jakarta,sorotkabar.com – Revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (RUU BUMN) kembali menjadi sorotan menjelang pengesahan di DPR.

Meski membawa harapan penguatan tata kelola, efektivitasnya masih menimbulkan pro dan kontra, termasuk terkait dampaknya pada saham-saham BUMN di pasar modal.

Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia Suryanata menilai revisi UU BUMN yang mencakup 84 pasal diarahkan untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas. Bagi BUMN terbuka, regulasi ini dapat memperjelas peran direksi, komisaris, dan pemegang saham, sehingga meningkatkan kepastian hukum dan perlindungan investor.

“Jika implementasinya konsisten, kinerja perusahaan publik berpotensi lebih baik karena praktik bisnisnya lebih dekat dengan prinsip good corporate governance (GCG), yang juga menjadi standar di pasar modal,” ujar Liza.

Menurutnya, investor cenderung menilai positif kebijakan yang memperkuat transparansi. Mekanisme pengawasan yang lebih jelas dapat menekan risiko moral hazard dan konflik kepentingan, sehingga pemegang saham lebih yakin keputusan strategis di BUMN berorientasi pada profitabilitas dan keberlanjutan, bukan semata kepentingan politik.

Namun, penerimaan pasar akan sangat bergantung pada detail implementasi teknis dan konsistensi pemerintah dalam menegakkan aturan. Di sisi lain, sejumlah pengamat menilai draf RUU BUMN masih menyisakan paradoks.

Direktur NEXT Indonesia Center Herry Gunawan menyoroti bahwa meski UU Nomor 1 Tahun 2025 sudah menegaskan BUMN sebagai badan privat yang tunduk pada prinsip business judgement rule, revisi RUU justru kembali membuka ruang audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap BUMN.

“Hal ini berpotensi membuat pengelola BUMN ragu mengambil keputusan bisnis, terutama untuk aksi korporasi besar. Jika ada kerugian, mereka bisa terjerat delik korupsi,” jelas Herry.

Ia juga menyoroti inkonsistensi aturan soal rangkap jabatan. RUU melarang menteri dan wakil menteri menjadi komisaris BUMN, namun masih memperbolehkan pejabat eselon I ke bawah menduduki posisi tersebut.

Menurutnya, hal ini menciptakan benturan kepentingan karena regulator bisa sekaligus menjadi operator. Selain itu, kehadiran Badan Pengelola (BP) BUMN sebagai regulator baru dinilai justru memperpanjang birokrasi.

“BUMN adalah badan privat. Seharusnya regulasi cukup dari otoritas yang ada, seperti OJK, BI, atau Kementerian Keuangan. Kehadiran BP BUMN malah menimbulkan tumpang tindih,” tegasnya.

Pada pandangan lain, Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto menilai revisi RUU BUMN tidak otomatis membawa dampak positif. Efektivitasnya sangat bergantung pada implementasi di lapangan.

“Kalau birokratis, justru kontraproduktif karena BUMN butuh fleksibilitas. Sejauh kinerja BUMN tidak terganggu, pasar akan merespons netral. Namun, jika menimbulkan inefisiensi, dampaknya bisa negatif,” jelas Eko.

Menurutnya, urgensi revisi lebih terkait dengan penataan kelembagaan ketimbang kebutuhan mendesak masyarakat. Ia menilai penguatan BPI Danantara sebagai holding pengelola BUMN sebenarnya sudah cukup, tanpa perlu lembaga tambahan.(*) 
 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index