Jakarta,sorotkabar.com - Wakil Menteri Pertanian (Wamentan), Sudaryono, menyinggung urgensi penyelamatan lahan sebagai langkah utama menjaga kestabilan pangan nasional.
Ia menyampaikan posisi lahan pangan kian terdesak akibat maraknya alih fungsi yang menggerus ruang produksi.
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam Rapat Koordinasi Pembahasan Penataan Ulang Rencana Tata Ruang Wilayah dan Alih Fungsi Lahan di Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Selasa (18/11/2025). Menurutnya, intervensi teknologi produksi bisa dilakukan, namun ketersediaan lahan tidak dapat digantikan sehingga diperlukan langkah disiplin bersama.
“Kalau lahan hilang, produksi hilang, dan kalau produksi hilang, pangan akan krisis. Ini fakta yang tidak bisa ditawar,” kata Sudaryono, dikutip Rabu (19/11/2025).
Ia menilai alih fungsi lahan sudah berada di titik yang mengkhawatirkan. Kondisi tersebut berpotensi mengganggu pasokan pangan seiring pertumbuhan penduduk yang terus naik. Kebutuhan konsumsi akan meningkat tajam sehingga kapasitas lahan harus dijaga tetap memadai.
Pada situasi ini, Wamentan menekankan penghentian alih fungsi sawah produktif merupakan keputusan yang bersifat mendesak. Risiko yang muncul tidak hanya pada produksi, tetapi juga pada kenaikan harga, potensi peningkatan impor, dan penyusutan wilayah garapan petani.
“Jika alih fungsi tidak dihentikan, kita sendiri yang akan menanggung risikonya. Harga bisa naik, impor bisa melebar, dan fondasi produksi melemah,” ujar Sudaryono.
Ia mengatakan, saat ini pemerintah tengah menyiapkan langkah penguatan perlindungan lahan. Beberapa di antaranya meliputi percepatan penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) serta konsolidasi pemerintah pusat dan daerah agar keputusan penggunaan ruang tidak merugikan kapasitas pangan nasional.
“Ini soal komitmen bersama. Lahan pertanian harus ditempatkan sebagai aset strategis negara,” tutur Sudaryono.
Wamentan menilai masa depan pangan Tanah Air sangat ditentukan oleh kemampuan negara menjaga ruang produksi. Ketika kebutuhan penduduk melonjak, cadangan lahan menjadi elemen penentu ketahanan dan kedaulatan pangan. Ia mengingatkan sejarah menunjukkan pertanian selalu menjadi sektor yang bertahan paling kuat saat masa sulit.
Sudaryono kemudian mengajak pemerintah daerah, pengembang, pelaku usaha, dan masyarakat bergerak pada tujuan yang sama.
Pembangunan, menurutnya, tidak boleh menggerus wilayah produktif yang menjadi tumpuan pangan jutaan penduduk.
“Pembangunan silakan berjalan, tapi jangan sentuh lahan produktif. Perlindungan lahan harus menjadi gerakan nasional,” tutur tokoh yang juga bertugas sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) periode 2025–2030.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, menegaskan pemerintah pusat dan daerah kini memberi perhatian besar pada penataan ulang tata ruang. Langkah tersebut mencakup penyelarasan rencana wilayah, perlindungan lahan baku sawah, dan penguatan LP2B yang menjadi dasar perencanaan pertanian berkelanjutan.
Tito menjelaskan daerah memiliki kewajiban menyesuaikan tata ruang demi memastikan lahan pertanian tidak terkonversi tanpa kendali. Ia menyebut 87 persen wilayah dalam tata ruang nasional telah diproyeksikan sebagai kawasan pertanian sehingga sawah eksisting memiliki prioritas perlindungan.
Sebagai tindak lanjut, pemerintah akan menggelar rapat gabungan dengan Kementerian ATR/BPN, Kemendagri, BIG, dan Kementerian Pertanian untuk mendorong percepatan revisi perda.
Mekanisme ini dibutuhkan untuk memastikan perlindungan sawah berjalan disiplin sekaligus menyediakan ruang bagi pembukaan lahan baru.
“Tujuannya agar sawah yang ada terlindungi dan perluasan sawah berjalan sesuai rencana. Semua pihak wajib disiplin,” kata Tito.
Penataan ulang tata ruang diharapkan memberi kepastian jangka panjang bagi produksi pangan nasional.
Dengan penegakan yang kuat, pemerintah menargetkan swasembada berjalan lebih kokoh dan risiko krisis dapat ditekan secara sistematis.(*)