Jakarta,sorotkabar.com - Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkapkan dugaan ratusan merk beras premium yang ternyata oplosan. Beras premium ditemukan tidak memenuhi ketentuan, melanggar kualitas beras, volume maupun harga eceran tertinggi (HET).
Investigasi yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan Satgas Pangan menemukan 212 merek beras yang dijual tidak sesuai dengan standar dan regulasi. Hingga kini, sudah ada 10 perusahaan besar yang dipanggil penyidik Satgas Pangan.
Menanggapi kasus beras oplosan ini, Peneliti Core Indonesia Eliza Mardian mengatakan bahwa fenomena beras oplosan ini menunjukkan adanya kesalahan tata kelola pangan di Indonesia, mulai dari produksi, distribusi hingga pengawasan. Dampak beras oplosan yakni memperlemah ketahanan pangan salah satunya pilar ketersediaan.
Eliza menjelaskan, ketika beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) dikemas premium dan dijual lebih tinggi, maka ini artinya mengurangi ketersediaan bagi kalangan menengah ke bawah untuk beli beras SPHP tersebut yang memang ditujukan untuk mereka.
Tak hanya itu, beras SPHP oplosan dapat memengaruhi stabilitas harga beras dan ujungnya berpotensi melemahkan daya beli masyarakat. Beras SPHP yang dioplos ke premium akan menciptakan suplai berlimpah di premium, sementara menciptakan kekurangan di kelas beras medium.
"Pada ujungnya beras oplosan dapat berdampak pada kenaikan harga beras medium, sehingga daya beli masyarakat melemah yang bisa menjadi masalah berkelanjutan bagi ketahanan pangan," ujar Eliza dalam program Investor Daily Talk.
Menurut Eliza, perlu adanya evaluasi menyeluruh atas tata kelola pangan di Indonesia. Misalnya dalam penyaluran beras SPHP, Badan Urusan Logistik (Bulog) diharapkan mengurusi langsung pendistribusian beras tersebut.
Adapun selama ini penyaluran beras SPHP tidak sama dengan beras dalam paket Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang diterima langsung oleh keluarga penerima manfaat. Beras SPHP didistribusikan dari gudang Bulog, kemudian ke distributor, lalu ke agen beras.
"Di sinilah kebocoran yang bisa dimanipluasi karena dari gudang Bulog catatannya saja masih manual belum terintegrasi secara digital. Jadi di setiap rantai tadi berpotensi sekali untuk dioplos ke premium karena selisih harganya masih sangat jauh," sebut Eliza.
Oleh karena itu, Eliza menilai sebaiknya penyaluran beras SPHP dilakukan dengan konsep BPNT yang dibagikan langsung ke Keluarga Penerima Manfaat. Selain itu, pendistribusian beras SPHP bisa langsung dari Bulog ke Bumdes atau Kopdes.
Di samping itu, sasaran penerima beras SPHP sebaiknya diperluas dari yang hanya kelompok desil 4 (menengah ke bawah) menjadi kelompok masyarakat desil 2 (miskin) dan 3 (rentan miskin) dan desil 4. Sebab, kelompok masyarakat ini sangat rentan terhadap perubahan harga beras di pasar yang bisa berefek pada kemampuan daya beli.
Eliza berharap pemerintah harus memperketat pengawasan dan menindak tegas perusahaan yang tidak memenuhi standar. Kementerian dan Lembaga terutama Kementerian Koordinator Bidang Pangan (Kemenko Pangan) dapat meningkatkan pengawasan salah satunya membentuk satuan tugas mafia anti beras.
"Selama ini pengawasan kurang, kemudian tidak ada semacam sidak kepada perusahaan-perusahaan apakah sudah sesuai atau belum standarnya. Jadi pemerintah disini perlu melakukan pengawasan," tutup Eliza.(*)