Polusi Udara dari Bahan Bakar Fosil Sebabkan 2,52 Juta Kematian

Polusi Udara dari Bahan Bakar Fosil Sebabkan 2,52 Juta Kematian
abc newsPolusi udara yang dipicu penggunaan bahan bakar energi fosil menyebabkan 2,52 juta kematian di seluruh dunia pada 2022. (ilustrasi)

Jakarta,sorotkabar.com - Jurnal sains The Lancet melaporkan, polusi udara yang dipicu penggunaan bahan bakar energi fosil menyebabkan 2,52 juta kematian di seluruh dunia pada 2022. Sebagian besar kematian ini seharusnya dapat dihindari jika negara-negara di dunia beralih ke energi terbarukan.

Laporan The Lancet Countdown berjudul “The 2025 Report of the Lancet Countdown on Health and Climate Change” menemukan, ketergantungan berlebih terhadap bahan bakar fosil dan kegagalan beradaptasi terhadap perubahan iklim telah mengakibatkan kerugian besar bagi kehidupan, kesehatan, dan penghidupan manusia. Kematian akibat polusi udara tersebut hanya salah satu dari 12 indikator yang memburuk, bahkan mencapai rekor baru.

Kematian akibat ketergantungan bahan bakar fosil mencakup 1 juta kematian akibat pembakaran batu bara global pada 2022, 1,2 juta kematian akibat penggunaan bahan bakar fosil untuk perjalanan darat, serta 740 ribu kematian karena sektor kelistrikan masih menggunakan bahan bakar fosil.

“Krisis energi global telah meningkatkan keuntungan bahan bakar fosil dan mendorong ekspansi lebih luas, sehingga risiko perubahan iklim terhadap kesehatan dan kelangsungan hidup manusia mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Direktur Eksekutif The Lancet Countdown, Marina Romanello, dalam pernyataannya, Senin (3/11/2025) lalu.

Namun, investasi batu bara masih terus berlanjut setelah disepakatinya Perjanjian Paris. Nilai aset sektor pembangkit listrik tenaga batu bara global yang diproyeksikan terbengkalai pada 2030 meningkat dari 16 miliar dolar AS pada 2023 menjadi 22,4 miliar dolar AS pada 2024.

Perusahaan minyak dan gas juga terus menggenjot produksi dan diproyeksikan melampaui batasan untuk menjaga suhu bumi 1,5 derajat Celsius. Ekspansi ini menghambat upaya pengurangan gas rumah kaca, menyebabkan kematian terkait polusi udara, serta memperburuk kerugian ekonomi.

Laporan tersebut mencatat, biaya finansial dari kematian akibat polusi udara mencapai 4,85 triliun dolar AS pada 2023, menegaskan bagaimana degradasi lingkungan berdampak langsung pada kerugian ekonomi. Dampak ini secara tidak proporsional menimpa negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, sehingga memperdalam ketidakadilan global yang ada.

“Menciptakan regulasi dan insentif keuangan yang mendukung pengembangan energi terbarukan yang terjangkau, efisiensi energi, dan penghapusan bahan bakar fosil merupakan langkah penting untuk menjaga risiko iklim agar tetap berada pada tingkat yang masih dapat diadaptasi oleh negara-negara,” kata peneliti The Lancet Countdown, Maria Walawender.

Walawender menambahkan, langkah tersebut juga dapat mengurangi kemiskinan energi dan kerugian ekonomi akibat fluktuasi pasar bahan bakar fosil, sekaligus menyelamatkan jutaan nyawa melalui udara yang lebih bersih. The Lancet Countdown juga merekomendasikan pengalihan subsidi bahan bakar fosil untuk memperluas akses energi terbarukan yang adil, serta promosi kesehatan dan kegiatan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dana subsidi bahan bakar fosil juga dapat dialihkan untuk melindungi kelompok masyarakat rentan dari dampak krisis iklim. Hingga kini, momentum global aksi iklim telah memberikan manfaat kesehatan dan ekonomi.

Peralihan yang semakin besar dari batu bara, terutama di negara-negara kaya, mencegah sekitar 160 ribu kematian dini per tahun pada 2010–2022 akibat polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil. Transisi energi bersih juga menghasilkan lapangan kerja yang lebih sehat dan berkelanjutan, dengan lebih dari 16 juta orang bekerja secara langsung maupun tidak langsung di sektor energi terbarukan pada 2023, naik 18,3 persen dari 2022.

“Menjelang pertemuan komunitas internasional di COP30 di Belem, Brasil, kami menyerukan pendekatan tegas untuk mempercepat kemajuan mitigasi krisis iklim. Negara-negara dengan emisi gas rumah kaca tinggi dan perusahaan-perusahaannya harus segera mengurangi emisi mereka untuk mencegah krisis iklim melampaui kapasitas adaptasi kita,” kata Romanello.(*) 
 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index