Akademisi Robi Armilus: Perpisahan Sekolah Itu Ritual Sosial, Jangan Langsung Dilarang

Akademisi Robi Armilus: Perpisahan Sekolah Itu Ritual Sosial, Jangan Langsung Dilarang
Ilustrasi (net)

Pekanbaru, sorotkabar.com – Kebijakan Pemerintah Provinsi Riau yang melarang kegiatan perpisahan sekolah di luar lingkungan sekolah menuai respons beragam.

Di satu sisi, aturan ini dinilai mampu melindungi orang tua dari beban ekonomi.

Di sisi lain, sejumlah pihak melihat larangan ini berpotensi menghilangkan ruang simbolik penting dalam perkembangan sosial siswa.

Gubernur Riau, Abdul Wahid, sebelumnya menyatakan bahwa kegiatan perpisahan tetap diperbolehkan, asalkan dilaksanakan secara sederhana di sekolah dan tidak memberatkan wali murid.

“Saya tidak melarang perpisahan, yang saya larang itu perpisahan bermewah-mewahan di luar sekolah,” ujar Abdul Wahid, usai upacara Hardiknas 2025 di Pekanbaru, Jumat (2/5/2025).

Namun, larangan ini memunculkan diskusi di tengah masyarakat, termasuk kalangan akademisi.

Dosen Sosiologi Universitas Riau, Robi Armilus, menilai fenomena perpisahan sekolah tak bisa hanya dilihat dari sisi administratif, melainkan sebagai praktik sosial yang kompleks.

“Dalam kurikulum nasional memang tidak ada kewajiban wisuda.

Tapi ini sudah jadi kebiasaan sosial yang lahir dari interaksi antara sekolah dan orang tua,” jelas Robi saat dihubungi, Jumat (2/5/2025).

Menurutnya, perpisahan sekolah merupakan bentuk ritual transisi yang memiliki makna simbolik bagi siswa, orang tua, dan guru.

“Ini soal penghargaan, kebanggaan, dan afirmasi identitas, khususnya bagi keluarga yang baru pertama kali menyekolahkan anaknya,” ungkapnya.

Namun Robi tak menampik bahwa seremoni perpisahan telah menjadi beban ekonomi bagi sebagian keluarga. Biaya sewa pakaian, dokumentasi, dan tempat pelaksanaan seringkali tidak terjangkau, terutama bagi kalangan menengah ke bawah.

Ia menyoroti bahwa dari sudut pandang perkembangan sosial anak, perpisahan punya peran penting.

“Anak-anak butuh pengakuan sosial. Perpisahan memberi ruang untuk itu, juga memperkuat relasi antar siswa dan antara siswa dengan guru,” paparnya.

Menurut Robi, larangan total tanpa solusi justru bisa berdampak psikologis. “Tanpa acara perpisahan, relasi emosional yang biasanya terbangun bisa terputus tiba-tiba.

Ini menyisakan kekosongan simbolik dalam fase hidup mereka,” urainya.

Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan yang dibuat secara mendadak dan tanpa dialog cenderung menimbulkan ketidakpercayaan publik. “Ini bisa melemahkan legitimasi pemerintah dan menciptakan ketidakpastian sosial,” tegasnya.

Robi menilai fenomena perpisahan mewah sebagai gejala sosial. Ia menyebutnya sebagai bentuk konformitas, tekanan sosial, dan komodifikasi emosi.

“Orang tua merasa harus ikut karena takut anaknya malu. Emosi seperti haru dan bangga kini dikemas jadi layanan jasa. Dari event organizer sampai make up artist, semua jadi industri,” kata Robi.

Meski begitu, ia percaya perpisahan sekolah tetap bisa berlangsung bermakna tanpa biaya tinggi. Ia menyarankan agar acara dilakukan di sekolah dengan dana yang terjangkau.

“Rp75.000 sampai Rp100.000 sudah cukup. Yang penting suasana kebersamaan dan penghargaan terhadap siswa tetap ada,” sarannya.

Robi juga mengingatkan agar pemerintah tidak bersikap represif. Ia mendorong pendekatan yang lebih mendidik dan solutif.

“Buat pedoman yang jelas. Boleh perpisahan, tapi harus sederhana, inklusif, dan tidak membebani. Jangan langsung dilarang, tapi arahkan,” pungkasnya. (*)
 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index