Pekanbaru,sorotkabar.com – Penarikan utang besar-besaran oleh pemerintah di awal tahun anggaran 2025 melalui strategi front loading menuai kritik tajam.
Kementerian Keuangan menyebut langkah ini sebagai bentuk antisipasi terhadap ketidakstabilan global yang dipicu kebijakan Donald Trump di Amerika Serikat.
Namun, narasi ini dinilai menyederhanakan krisis fiskal yang sedang berlangsung.
"Front loading bukan hal baru. Pemerintah sudah mulai melakukannya sejak akhir 2024. Tapi alih-alih mengaku kas negara sedang seret, mereka justru berlindung di balik dalih global," ujar Ekonom dan Pengamat Fiskal, Dr Gatot Wijayanto, SE, MSi,Minggu (13/4/2025).
Ia menyebut, lonjakan utang yang telah mencapai Rp270,4 triliun per Maret atau 44 persen dari target APBN, merupakan sinyal bahwa pemerintah tengah menghadapi tekanan likuiditas sejak awal tahun. Hal ini, katanya, akan berdampak serius terhadap kemampuan pemerintah menarik utang di bulan-bulan berikutnya.
"Kalaupun bisa menarik utang baru, pemerintah terpaksa menawarkan imbal hasil tinggi. Ini justru akan memperberat beban bunga dan mempersempit ruang fiskal," urainya.
Tak hanya itu, muncul pula isu kontroversial lain: pelonggaran aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Kebijakan yang disebut-sebut masuk dalam agenda Presiden terpilih, Prabowo Subianto, itu dianggap sebagai jalan pintas yang bisa melemahkan industri lokal.
"Fleksibilitas TKDN mungkin menguntungkan ekspor industri besar seperti otomotif. Tapi industri kecil dan menengah lokal yang bergantung pada belanja pemerintah bisa mati mendadak," sambung Gatot.
Ia menegaskan, selama ini TKDN menjadi penyangga permintaan terhadap produk manufaktur nasional. Banyak industri kecil bergantung pada proyek pemerintah yang mewajibkan kandungan lokal. Jika aturan ini dilonggarkan, penyerapan produksi dalam negeri akan menurun drastis.
"Utilisasi pabrik bisa turun tajam, PHK massal bisa terjadi, dan kepercayaan investor terhadap iklim usaha kita bisa menurun," katanya.
Pelonggaran TKDN juga dianggap kontra produktif terhadap upaya pemerintah menegosiasikan ulang tarif impor Amerika Serikat yang melonjak hingga 32 persen karena dianggap diskriminatif. Saat tekanan tarif masih tinggi, pelonggaran aturan justru dikaji ulang.
Gatot menyebut, kombinasi kebijakan front loading dan pelonggaran TKDN adalah bom waktu fiskal dan industri yang siap meledak jika tidak dikelola dengan hati-hati.
"Kalau tidak hati-hati, dua-duanya bisa meledak bersamaan: kas negara kering, industri dalam negeri rontok, dan pemerintah tak lagi punya ruang bermanuver," tegasnya.
Ia mendorong pemerintah untuk bersikap lebih transparan terhadap kondisi riil anggaran serta menjadikan keberpihakan pada industri nasional sebagai dasar kebijakan ekonomi. (*)