Korupsi Kepala Daerah Terus Berulang, Alarm Pencegahan Kian Nyaring

Korupsi Kepala Daerah Terus Berulang, Alarm Pencegahan Kian Nyaring
Tersangka Bupati Lampung Tengah periode 2025-2030 Ardito Wijaya mengenakan rompi tahanan usai dihadirkan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (11/12/2025).

Jakarta,sorotkabar.com – Bertambahnya kepala daerah yang terseret kasus korupsi kembali memunculkan tanda tanya besar soal efektivitas pencegahan. Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Yudi Purnomo Harahap, menilai posisi kepala daerah sangat rentan terhadap godaan penyalahgunaan kekuasaan.

Pernyataan itu disampaikan Yudi merespons kembali tertangkapnya kepala daerah oleh KPK, termasuk penetapan Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya, sebagai tersangka kasus suap proyek dan gratifikasi.

“Tentu ini kondisi memprihatinkan dan sebenarnya bisa dimitigasi. Kepala daerah ini memang rawan terjadinya korupsi, apalagi pasca pilkada serentak sudah ada beberapa yang tertangkap KPK,” ujar Yudi, Sabtu (13/12/2025).

Ia menekankan bahwa pencegahan korupsi tidak bisa hanya dibebankan kepada aparat penegak hukum. Kepala daerah, kata dia, justru harus menjadi aktor utama dalam menjaga integritas, mengingat banyaknya celah yang bisa disalahgunakan.

“Oleh karena itu, pencegahan penting untuk menjaga integritas kepala daerah supaya tidak melakukan korupsi, mulai dari lelang jabatan, pengadaan barang dan jasa, perizinan tambang, sampai setoran dari anak buah,” jelasnya.

Menurut mantan Ketua Wadah Pegawai KPK itu, langkah pencegahan yang kuat menjadi kunci agar praktik korupsi kepala daerah tidak terus berulang.

“Ini penting supaya tidak ada lagi kepala daerah yang tertangkap karena korupsi,” katanya.

Yudi juga menyinggung faktor integritas pribadi sebagai benteng utama. Tanpa integritas, kepala daerah dinilai mudah tergoda untuk menyalahgunakan kewenangan, terutama karena besarnya biaya yang dikeluarkan saat kampanye.

“Sebab kepala daerah ini, kalau tidak berintegritas, pasti akan tergiur untuk mengembalikan modal dari uang kampanye yang mereka keluarkan,” ujarnya.

Pandangan serupa disampaikan Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri sekaligus mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Prof Djohermansyah Djohan. Ia mencatat sejak sistem pemilihan langsung diterapkan pada 1 Juni 2005, sedikitnya 412 kepala daerah tersangkut kasus korupsi.

Djohermansyah menilai mahalnya biaya politik dalam pilkada menjadi salah satu akar persoalan yang belum terselesaikan hingga kini.

“Apa yang salah? Kalau kita pelajari dengan baik, pasti ada yang salah dalam sistem kenegaraan kita. Yang salah itu adalah model pemilihan yang berbiaya mahal,” ujarnya, Kamis (11/12/2025).

Ia menjelaskan, ongkos politik tinggi kerap dimulai dari kewajiban calon kepala daerah menyiapkan mahar kepada partai pengusung agar mendapatkan dukungan.

“Ketika biayanya mahal, keluarnya untuk apa? Pertama membeli kendaraan politik, mahar untuk partai-partai pengusung, terutama pengusung utama,” paparnya.

Fenomena ini kembali memperkuat sorotan publik terhadap sistem politik lokal dan efektivitas pencegahan korupsi, di tengah terus bertambahnya kepala daerah yang berurusan dengan hukum.(*)

Halaman

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index