Konflik Lahan Tol Pekanbaru–Rengat Memanas: Rumah Rata, Ganti Rugi Nihil

Konflik Lahan Tol Pekanbaru–Rengat Memanas: Rumah Rata, Ganti Rugi Nihil
Salah seorang keluarga yang mengumpulkan puing-puing bekas bangunan rumah mereka

Pekanbaru,sorotkabar.com - Suasana tenang di Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Muara Fajar Timur, Kecamatan Rumbai Barat, seketika pecah, Kamis (4/12/2025). Alat berat bergerak pelan namun pasti, meratakan tujuh rumah milik satu keluarga besar yang telah hidup di kawasan itu selama empat generasi.

Di antara debu yang mengepul, keluarga itu hanya dapat menyaksikan rumah-rumah mereka runtuh tanpa kompensasi, meski sebelumnya dijanjikan akan menerima ganti rugi.

Eksekusi tersebut dilaksanakan berdasarkan Surat Pelaksanaan Eksekusi Nomor 2837/PAN.PN/W4.U1/HK.24/XI/2025 dan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 34/Pdt.Eks-Kons/2025/PN Pbr. Tanah seluas 465 meter persegi itu dinyatakan sebagai objek pengadaan lahan Paket 2.7 Jalan Tol Pekanbaru–Rengat oleh Satker Pengadaan Tanah Tol Wilayah II Kementerian PUPR.

Namun, di balik dokumen hukum yang tegas, terselip cerita pilu sebuah keluarga yang mengaku janji-janji pemerintah menguap begitu saja.

Juwita Susanti dan adiknya, Syukri, mengisahkan bahwa proses bermula ketika warga diundang ke kantor kelurahan untuk sosialisasi. Saat itu, mereka diperkenalkan pada pembangunan tol yang akan melintasi permukiman.

“Yang mensosialisasikan itu Ibu Eva selaku PPK PUPR katanya. Diinformasikan ke kami bahwa tanah Bapak Ibu akan terkena proyek strategis nasional. Tapi Bapak Ibu tenang, tanah, bangunan rumah, bahkan tanaman bapak ibu juga akan diganti. Karena janji pemerintah kan sebelum-sebelumnya katanya ‘ganti untung’,” ujar Syukri, Jumat (5/12/2025).

Keluarga besar ini telah menghuni kawasan tersebut selama empat generasi. “Dari nenek buyut saya. Ibu saya saja umurnya 63 tahun, lahir dan besar di sini. Saya generasi keempat, anak kakak saya yang berumur 20-an itu sudah generasi kelima,” jelas Juwita.

Mereka mengakui status tanahnya adalah Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR), bukan sertifikat. Namun, mereka rutin membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) dan menganggap wilayah itu sebagai hak keluarganya. Tetangga-tetangga di sekitar mereka, termasuk sebuah SPBU, memiliki sertifikat.

Proses kemudian berlanjut. Tim datang untuk mengukur luas tanah, bangunan, dan mencatat tanaman. “Kami ikuti saja. Kami tidak menolak karena ini untuk kepentingan umum,” ujar Syukri.

Harapan mereka terbangun ketika beberapa tahun kemudian, mereka kembali diundang, kali ini ke kantor camat, untuk musyawarah menentukan bentuk ganti rugi.

Di kantor camat itulah kejutan pertama datang. Keluarga ini diberikan sebuah surat yang sudah memuat nilai ganti rugi untuk tanah dan bangunan mereka.

“Bukan kami yang menetapkan. Tidak ada negosiasi. Langsung mereka sendiri yang menetapkan,” kata Syukri.

Misalnya, untuk satu bidang tanah disebutkan nilai tertentu. “Kami disuruh tanda tangan. Kalau tidak mau dengan nilai segitu, mereka suruh kami ke pengadilan,” tambahnya.

Namun, ada yang aneh pada dokumen tersebut. Di bagian nama pemilik tanah, tertulis “Agus Salim – BMN”.

Agus Salim adalah paman mereka. “Kami tanyakan ke Ibu Epa (Eva), maksudnya apa ini? Maka Ibu Epa secara resmi menyatakan, ‘Bapak Ibu ternyata tanah yang Bapak Ibu tempati sekarang adalah Barang Milik Negara’,” ungkap Syukri mengulang perkataan itu dengan nada masih tak percaya.

Keluarga mereka pun bingung dan bertanya. Dari mana klaim itu muncul? Mereka yang telah puluhan tahun mendiami tempat itu tiba-tiba disebut “numpang” di tanah negara.

“Ibu Eva menjelaskan itu berdasarkan Peraturan Pemerintah, katanya ada SK Gubernur. Sampai sekarang kami tidak pernah lihat SK Gubernur itu,” tambah Juwita.

Klaim yang mereka tangkap adalah bahwa tanah dalam radius 100 meter kiri-kanan dari jalan dianggap sebagai tanah pemerintah.

Janji pun berubah. Menurut pengakuan mereka, Eva Monalisa sebagai PPK kemudian mengatakan bahwa ganti rugi untuk tanah tidak akan dibayarkan karena status BMN. Namun, bangunan di atasnya tetap akan diganti. “Ibu Eva masih mengasih harapan, bangunan tetap dibayar walaupun berdiri di atas tanah negara,” cakap Syukri.

Keluarga besar yang terdiri dari tujuh kepala keluarga ini pun berembuk. Nilai ganti rugi bangunan yang ditawarkan, menurut mereka, tidak sesuai dengan harga pasar atau keinginan mereka. Ada satu nilai terbesar sekitar Rp1,3 miliar yang harus dibagi untuk empat pihak. Beberapa anggota, termasuk Syukri, awalnya berkeras untuk memperjuangkan hak tanah mereka. Namun, pertimbangan lain akhirnya mengalahkan keinginan itu.

“Kami pertimbangkan, yang berurusan ini orang-orang tua kami, nenek-nenek, kesehatannya sudah menurun. Takut terjadi apa-apa. Akhirnya kami turunkan ego. Ya sudah, terima saja ganti rugi bangunannya. Mungkin itu rezeki dari Allah,” tutur Syukri dengan nada pasrah.

Mereka akhirnya menerima nilai ganti rugi bangunan yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah. Tanda tangan pun diberikan, dengan pengertian bahwa mereka akan menerima uang pengganti bangunan. Keputusan itu diambil dengan harapan proyek akan berjalan lancar dan keluarga mereka bisa mulai mencari tempat tinggal baru.

Harapan itu ternyata sia-sia. “Berjalannya waktu sampai beberapa saat kemudian, pokoknya terakhir ternyata bangunan pun tidak dibayarkan,” keluh Syukri.

Mereka justru diundang kembali ke kantor kelurahan untuk pertemuan terakhir. Dalam pertemuan yang dihadiri perangkat kelurahan, polsek, dan warga itu, bukan lagi pembayaran ganti rugi yang diumumkan.

“Kami dinyatakan tidak dapat ganti rugi satu rupiah pun. Tetapi kami disuruh tetap pindah dari situ karena proyek jalan tol harus berjalan,” kisahnya.

Janji manis “ganti untung” berubah menjadi perintah untuk mengosongkan tanah tanpa kompensasi.

Keluarga itu pun mencoba bertahan, mempertanyakan keadilan dan meminta solusi. “Kami minta solusi, bagaimana caranya proyek ini berjalan dan kami dapat rumah baru untuk pindah, bernaung. Mereka tidak kasih solusi. Yang mereka tahu kami harus pindah,” ucap Juwita.

Perjuangan mereka sebagai “masyarakat biasa” akhirnya kalah oleh aparat. Pada pagi hari Kamis eksekusi paksa dilakukan. “Mereka bergantian dari ujung sana. Yang pertama tanah kosong, baru bangunan saya di sini,” kenang Juwita.

Surat pemberitahuan eksekusi, menurutnya, baru datang sehari sebelumnya, tanggal 3 Desember.

Kini, yang tersisa adalah tumpukan puing. Bagi mereka, puing-puing itu malah menjadi “solusi” untuk dijual murah guna menyambung hidup. Kondisi keluarga mereka setelah penggusuran sangat memprihatinkan.

Juwita, yang suaminya bekerja sebagai tukang tempel ban, harus menitipkan ibunya yang berusia 63 tahun ke rumah kakaknya yang lain. “Kami berlima, cuma kakak saya yang punya rumah sendiri. Kami semua ngontrak. Mama tinggal di rumah kakak, titip-timpitan, rumahnya sempit,” ceritanya. Ibunya adalah seorang janda tanpa penghasilan tetap.

Syukri menggambarkan kondisi saudara-saudaranya yang lain: ada yang suaminya tukang jaga malam, ada yang bekerja sebagai office boy (OB) di SPBU. “Penghasilannya ya buruh kasar. Untuk menyewa pengacara saja tidak mampu. Kami lebih memilih beli beras,” katanya.

Salah seorang sepupu mereka, kata Syukri, terpaksa membongkar sendiri rumahnya sebelum digusur, berharap materialnya bisa dipakai lagi untuk membangun rumah sementara di tempat lain.

“Tapi kayu-kayunya, dindingnya kan tidak bisa dipakai lagi. Akhirnya dibikin rumah seperti petak kandang ayam. Kamar, dapur, ruang tamu, barang-barang berserakan di situ,” ungkapnya.

Metafora “penjajahan” terus keluar dari mulut mereka. “Kami kira penjajahan sudah hilang di Indonesia yang merdeka lebih dari 80 tahun ini. Ternyata masih ada, dan kami alami. Ini lebih kejam daripada zionis,” geram Syukri.

Mereka mempertanyakan, jika memang tanah 100 meter kiri-kanan jalan adalah BMN, mengapa perusahaan-perusahaan besar di sepanjang Jalan Yos Sudarso tidak digusur? “Kenapa kami, masyarakat miskin yang tidak punya backing, yang dikorbankan?,” jelasnya.

Saat dikonfirmasi, PPK Tol Pekanbaru–Rengat, Eva Monalisa, sempat memberikan keterangan melalui pesan WhatsApp, tetapi kemudian menariknya kembali.

Eva menyampaikan bahwa dirinya telah diarahkan untuk tidak memberi pernyataan demi menjaga situasi tetap kondusif.

“Kalau mau jumpa saya bisa di hari Senin. Intinya dari Kementerian Keuangan ada surat yang menyatakan bahwa tanah dan apa yang terdapat di atasnya adalah BMN. Saya orang PU sebagai instansi yang membutuhkan tanah, jadi kami ini pasif. Bukan kami yang menentukan suatu objek itu milik siapa,” tutup Eva.

Pernyataan itu mengisyaratkan bahwa status BMN telah ditetapkan oleh otoritas lain (dalam hal ini Kemkeu), dan Kementerian PUPR hanya sebagai pelaksana proyek yang membutuhkan lahan yang telah ditetapkan sebagai aset negara tersebut.

Proyek Jalan Tol Pekanbaru–Rengat merupakan bagian dari jaringan tol yang dirancang meningkatkan konektivitas antarkawasan di Riau dan ditargetkan rampung pada 2026.

Pemerintah menyebut proyek ini akan mendukung distribusi barang, menggerakkan perekonomian, serta menjadi katalis pengembangan kawasan.

Namun, persoalan yang dialami keluarga Muara Fajar Timur menunjukkan sisi lain dari pembangunan. Sengketa status lahan, proses pengadaan tanah yang tidak transparan, hingga kompensasi yang tak kunjung terealisasi menjadi gambaran nyata bagaimana warga kecil kerap berada pada posisi lemah.

Di satu sisi, proyek strategis nasional terus berjalan. Di sisi lain, ada keluarga yang kini kehilangan tempat tinggal, pendapatan, dan rasa aman dampak yang tak pernah mereka bayangkan di balik jargon “kepentingan umum”.(*)

Halaman

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index