Warga Venezuela Lebih Takut Inflasi Ketimbang Diserang AS

Warga Venezuela Lebih Takut Inflasi Ketimbang Diserang AS
Warga Venezuela Lebih Takut Inflasi Ketimbang Diserang AS

Caracas,sorotkabar.com –  Di tengah meningkatnya ketegangan antara Venezuela dan Amerika Serikat (AS), mayoritas warga justru lebih takut pada inflasi yang kembali melonjak. Lonjakan harga yang terus menggerus pendapatan membuat mereka menilai risiko konflik militer dengan AS bukan lagi ancaman terbesar.

Ketegangan kembali mencuat setelah Presiden AS Donald Trump pada awal September 2025 mengerahkan kekuatan militer besar-besaran ke perairan lepas pantai Venezuela untuk kampanye antinarkoba. Trump bahkan memperingatkan kemungkinan operasi “darat” dan memblokade wilayah udara Venezuela, yang memunculkan kekhawatiran bahwa Washington berencana mengintervensi dan menggulingkan pemerintahan Presiden Nicolas Maduro.

Namun bagi warga Venezuela, ancaman konflik terasa jauh lebih ringan dibanding tekanan inflasi yang terus menggila. “AS tidak akan melakukan intervensi. Yang benar-benar mengkhawatirkan kami adalah kenaikan nilai dolar,” ujar Alejandro Orellano, pemilik kios sayur di pasar Quinta Crespo, Caracas, kepada BBC Mundo.

Data bank sentral Venezuela menunjukkan bolivar kehilangan sekitar 70% nilainya terhadap dolar AS sejak operasi militer AS dimulai di Karibia. Di pasar gelap, satu dolar mencapai 370 bolivar, jauh di atas kurs resmi 249 bolivar.

Ketergantungan Venezuela pada impor membuat pelemahan bolivar langsung memicu lonjakan harga pangan. Sanksi ekonomi AS yang semakin ketat makin memperparah tekanan pasar.

“Harga-harga naik setiap hari. Tepung jagung hari ini 220 bolivar, besok 240, lusa 260. Barang yang dua minggu lalu cuma US$ 1, sekarang bisa US$ 3,” kata Yon Michael Hernandez, sopir taksi di kawasan Petare, Caracas.

Tepung jagung adalah bahan utama arepas, makanan pokok warga.

Bank sentral Venezuela berhenti menerbitkan angka inflasi sejak Oktober 2024, setelah sempat menahan inflasi di bawah 10% selama 20 bulan. Namun kondisi ekonomi langsung memburuk.

IMF memproyeksikan inflasi Venezuela bisa mencapai 270% tahun ini dan melesat hingga 682% pada akhir 2026. Banyak warga menilai situasi ini seperti “kembali ke mimpi buruk lama” saat hiperinflasi sebelum pandemi Covid-19.

“Yang masih bisa belanja pun sudah banyak yang berhemat,” kata Marjorie Yanez, penjual jajanan kaki lima.

“Kenaikan nilai tukar setiap hari benar-benar memukul usaha kecil seperti kami,” katanya.

Sarapan croissant dan kopi susu kini bisa mencapai US$ 10 (sekitar Rp 166.000), sementara upah minimum kurang dari US$ 1 per bulan. Subsidi pemerintah untuk pensiunan dan pegawai negeri sipil dinilai jauh dari cukup.

Harga kebutuhan pokok liburan hampir dua kali lipat dibanding tahun lalu. Banyak warga yang tetap pergi ke mal, tetapi harus menahan diri karena gaji sebulan hanya cukup untuk sedikit belanja.

Miguel Perez, pekerja konstruksi, terpaksa pulang tanpa membawa TV baru karena harga melonjak hingga US$ 400 (sekitar Rp 6,6 juta). “Semoga saya bisa dapat yang lebih murah,” ujarnya kepada WSJ.

Bagi Consuelo, 74 tahun, menyimpan bahan makanan kini sudah tidak mungkin. “Biarkan saja! Itu saja! Terlalu banyak mikir capek. Aku nggak bisa stok apa-apa, uangnya enggak ada,” katanya.

Meski banyak warga mengabaikan ancaman militer AS, sebagian tetap merasa was-was. Esther Guevara, pekerja fasilitas medis, mengaku khawatir melihat pengerahan pasukan Amerika.(*)

Halaman

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index