Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Pemilukada diselenggarakan untuk memilih Gubernur dan Bupati dan/atau walikota yang saat ini pelaksanaannya dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia yang masa jabatannya telah habis.
Dalam Pemilukada, calonnya dipilih langsung oleh rakyat. Rakyatlah yang memilih siapa calon kepala daerah yang di kehendakinya melalui system satu orang satu suara (one man one vote). Siapa calon yang meraih suara terbanyak, maka dialah yang terpilih. Dengan system pemilukada sekarang ini, tidak ada bedanya suara seorang Insinyur dengan tukang parkir. Setiap orang mempunyai hak suara yang sama.
Setiap kali perhelatan pemilukada berlangsung di suatu daerah, maka selalu saja menjadi topic perbincangan (trending topic) yang menarik bagi masyarakat daerah tersebut. Hal ini disebabkan oleh tingkat kesadaran masyarakat untuk melek politik semakin tinggi.
Perbincangan tentang pemilukada itu tidak saja terjadi di emperan toko, kedai kopi, pasar, perkantoran tetapi juga sampai ke hotel berbinatang, mulai dari masyarakat kelas bawah sampai ke tingkat elit politik local dan nasional.
Pembicaraan itu pada umumnya adalah mengenai siapa saja calon kepala daerah yang akan bertarung, apa saja partai politik pendukung dan pengusung sang calon, bagaimana kekuatan dan kemungkinan keterpilihan sang calon, sampai dengan membicarakan kelebihan dan kekurangan para sang calon. Bahkan tidak jarang konflik antar pendukung terjadi ditempat-tempat perbincangan pemilukada tersebut, terutama perang urat syaraf di media social.
Dalam prakteknya, Pemilukada yang diselenggarakan secara langsung ini menimbulkan banyak permasalahan. Baik dari segi penyelenggaranya maupun dari segi para calonnya. Dari segi penyelenggaranya adalah ketidak profesionalan sampai dengan lemahnya integritas sehingga tidak menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana mestinya, sementara dari segi para calonnya adalah menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan.
Tidak dipungkiri, dengan system pemilukada sekarang, jika ingin maju sebagai calon kepala daerah harus menyiapkan pundi-pundi yang cukup atau lazim disebut dengan biaya politik (cost politic). Biaya politik ini digunakan untuk mendapatkan dukungan dari partai politik yang nantinya akan menjadi pengusung dan pendukung pencalonan dan juga untuk membiayai segala kebutuhan yang berhubungan dengan pencalonan (kampanye).
Pemilukada sekarang memakan biaya politik yang tidak sedikit, sehingga peserta pemilukada dituntut untuk menyiapkan amunisi (baca=uang) yang cukup untuk bertempur guna memenangkan pertarungan. Hal inilah sebagai salah satu penyebab sang calon menghalalkan segala cara demi meraih kemenangan.
Biaya politik yang tinggi inilah di tengarai sebagai salah satu sebab terjadinya korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah. Kepala Daerah kalau hanya mengandalkan gaji yang diterima setiap bulan, tidak akan balik modal. Makanya terjadilah suap menyuap dalam jual beli jabatan, fee dalam berbagai proyek, dengan berbagai modus yang penting dapat fulus.
Kalau kondisi ini dibiarkan secara terus menerus, maka dapat kita bayangkan akan banyak sekali kepala daerah yang akan masuk penjara. Niat awal maju jadi pemimpin adalah sebagai ibadah (kalaupun iya) tetapi berakhir di penjara. Kedepannya orang akan berfikir dua kali untuk maju menjadi calon kepala daerah.
Banyaknya Korupsi yang dilakukan oleh Kepala daerah ini dibuktikan dengan maraknya kepala daerah yang kena OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK. Miris memang, tetapi itulah faktanya. Lembaga anti rasuah itu sudah puluhan kali menangkap dan menjebloskan kepala daerah ke penjara, namun tak membuat jera dan tidak juga menjadi contoh bagi kepala-kepala daerah yang lain.
Selain Money politik sebagai penyebab korupsi, sponsor para kepala daerah pun menyumbang angka yang sangat tinggi sebagai penumbang penyebab kepala daerah ini melakukan korupsi, karena adanya balas jasa atas dukungan dana sejak proses pencalonan, kampanye sampai dengan pemungutan suara.
Mengapa masih saja terjadi money politik? Menurut penulis ada beberapa hal, yang pertama para kandidat kepala daerah tidak punya program layak jual, hanya inginkan kemenangan, yang kedua adalah penegakan hukum yang lemah terhadap pelaku money politic dan yang ketiga adalah budaya segan menolak jika ada yang memberi
Kondisi seperti ini harus segera di akhiri, atau setidaknya di minimalisir. Oleh karena itu agar kepala daerah tidak lagi korupsi, penulis mencoba untuk menawarkan solusi sebagai berikut :
Pemerintah perlu segera memikirkan cara untuk membenahi system pemilu agar tidak berbiaya tinggi, misalnya dengan merevisi undang-undang partai politik. Partai politik harus di biayai sepenuhnya oleh Negara, sehingga partai politik tidak lagi kesulitan mendapatkan biaya, dengan demikian calon kepala daerah tidak perlu mengeluarkan modal besar untuk uang mahar atau biaya kampanye.
Pembiayaan parpol oleh Negara ini tentu saja perlu disesuaikan dengan aturan yang jelas, sehingga parpol tidak menyalahgunakan anggaran yang bersumber dari APBN, parpol harus di audit. Apabila parpol terbukti menyalahgunakan dana bantuan parpol atau terbukti masih meminta uang mahar kepada calon kepala daerah, maka parpol tersebut harus di diskualifikasi dan tidak boleh ikut pilkada ataupun pemilu.
Pencabutan hak politik yang berlaku nasional terhadap kepala daerah yang terbukti melakukan korupsi.
Pencabutan hak politik ini hanyalah merupakan hukuman tambahan selain dari hukuman pokok.
Pencabutan hak politik ini berupa pencabutan hak untuk dipilih dan memilih. Selama ini memang ada hukuman pencabutan hak politik namun penulis lihat masih terlalu ringan karena hanya sampai dengan waktu tertentu. Sehingga tidak heran jika mantan koruptor bisa maju lagi menjadi calon kepala daerah. Pencabutan hak politik ini haruslah berlaku permanen, artinya berlaku seumur hidup.
Kepala Daerah yang terlibat korupsi harus juga dijerat dengan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
Hal ini dimaksudkan agar asset asset kepala daerah yang diperoleh dari hasil uang korupsi disita oleh Negara dan hukuman bertambah berat. Selama ini memang sudah dilakukan oleh KPK, akan tetapi jarang sekali diikuti oleh lembaga penegak hukum lainnya.
Jika setiap kepala daerah di jerat dengan TPPU ini, maka bagi yang terbukti hukumannya akan bertambah berat, sehingga diharapkan akan memberikan efek jera.
Berikan sanksi social
Sanksi social ini bisa menjadi solusi yang efektif karena memberikan efek malu yang luar biasa. Sanksi social ini bisa saja berupa kerja bakti di tempat-tempat fasilitas umum yang dapat disaksikan oleh orang banyak. Masyarakat jangan lagi menghargai dan menghormati kepala daerah yang terbukti korupsi, kucilkan dan jangan diberi ruang kepada mereka dalam setiap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
Jangan pilih calon kepala daerah yang memberikan atau menjanjikan sesuatu, baik berupa uang ataupun barang (money politik)
Jamak terjadi di setiap perhelatan pilkada, para calon memberikan sesuatu kepada masyarakat pemilihnya.
Masyarakat pemilih yang miskin tentu tidak akan berfikir dua kali untuk mengambilnya. Perilaku masyarakat miskin seperti inilah yang menjadi factor utama penyebab terjadi tingginya biaya politik. Para calon kepala daerah memanfaatkan kondisi masyarakat pemilih untuk kepentingan hawa nafsu kekuasaannya. Untuk itu kedepannya, masyarakat jangan mau lagi diberi uang untuk memilih sang calon, jika ada sang calon yang memberikan uang maka jangan dipilih calon tersebut karena sudah pasti calon tersebut tidak akan menjalankan tuganya dengan benar karena yang ada dipikirannya adalah bagaimana cara mengembalikan modal yang sudah di keluarkannya.
Mudah-mudahan ke depan, masyarakat semakin cerdas dalam memilih kepala daerah, sehingga diharapkan terpilih kepala daerah yang amanah, jujur dan berintegritas, bukan kepala daerah yang menggeroti uang APBD untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Semoga saja penjara tidak dipenuhi oleh kepala daerah yang terlibat korupsi!
MAYANDRI SUZARMAN, SH.MH
Anak Lubuk Jambi Asli (ALJA)
Mantan Direktur Corruption Watch
Dosen Luar Biasa STIH Persada Bunda & Universitas Bung Hatta
Sekarang Hakim di Pengadilan Negeri Padang Kelas 1A