Tok! MK Putuskan UU Tapera Bertentangan dengan UUD 1945

Tok! MK Putuskan UU Tapera Bertentangan dengan UUD 1945
Ketua MK Suhartoyo beserta dua hakim konstitusi lainnya, Arief Hidayat dan Ridwan Mansyur dalam sidang uji materi UU TNI, Jumat, 25 April 2025. (Beritasatu.com/Addin Anugrah Siwi)

Jakarta,sorotkabar.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Masyarakat tidak wajib menjadi peserta Tapera.

Hal diputuskan majelis MK saat mengabulkan uji materi UU Tapera dalam sidang di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Senin (29/9/2025).

Dalam amar putusan nomor 96/PUU-XXII/2024 itu, MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Tapera bertentangan dengan konstitusi sehingga berkonsekuensi yuridis terhadap pasal-pasal lainnya dalam UU tersebut.

“Menyatakan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dilakukan penataan ulang, sebagaimana amanat Pasal 124 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusannya.

Dalam pertimbangan hukum, Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan relasi hukum antara masyarakat dan lembaga keuangan dibangun atas dasar kepercayaan dan kesepakatan bersama.

Menurut MK, unsur kesukarelaan dan persetujuan menjadi fondasi penting dalam pembentukan hukum dan konteks penyimpanan dana.

Sementara itu, Pasal 7 ayat (1) mengatur setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta Tapera.

Oleh sebab itu, MK menyatakan penyematan istilah tabungan dalam program Tapera menimbulkan persoalan bagi pihak-pihak yang terdampak, dalam hal ini pekerja, karena diikuti dengan unsur pemaksaan dengan meletakkan kata wajib sebagai peserta Tapera.

“Sehingga secara konseptual, tidak sesuai dengan karakteristik hakikat tabungan yang sesungguhnya karena tidak lagi terdapat kehendak yang bebas,” ucap Saldi.

Terlebih, Tapera bukan termasuk dalam kategori “pungutan lain” yang bersifat memaksa, sebagaimana dimaksud Pasal 23A UUD 1945 ataupun dalam kategori “pungutan resmi lainnya”.

“Oleh karena itu, mahkamah menilai Tapera telah menggeser makna konsep tabungan yang sejatinya bersifat sukarela menjadi pungutan yang bersifat memaksa sebagaimana didalilkan pemohon,” kata Saldi.

Selain itu, dengan memperhatikan seluruh alternatif dan akses yang telah tersedia bagi berbagai kelompok pekerja dan warga negara terhadap skema pembiayaan perumahan, MK menilai keberadaan Tapera sebagai kewajiban tidak hanya bersifat tumpang tindih, tetapi juga berpotensi menimbulkan beban ganda.

Di sisi lain, sifat wajib dalam Pasal 7 ayat (1) UU Tapera diberlakukan tanpa membedakan pekerja yang telah memiliki rumah atau belum. Kewajiban yang demikian, menurut Mahkamah, menimbulkan perlakuan yang tidak proporsional.

Kendati begitu, Mahkamah tidak sependapat dengan petitum alternatif pemohon yang meminta kata “wajib” dalam Pasal 7 ayat (1) UU Tapera diubah menjadi kata “dapat”.

Menurut Mahkamah, perubahan redaksional semata hanya menimbulkan disharmonisasi internal, inkonsistensi antarpasal, serta ketidakpastian hukum karena pasal yang dipersoalkan itu merupakan ruh yang menjiwai keseluruhan norma dalam UU Tapera.

Selain itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menambahkan, persoalan mendasar UU Tapera bukan hanya terletak pada satu pasal tertentu, tetapi pada desain hukum secara keseluruhan.

“Tapera dibentuk dengan konsep tabungan. Namun, hasil akhir hanyalah pengembalian uang simpanan di akhir masa kepesertaan atau masa pensiun. Skema demikian secara inheren tidak mampu memenuhi tujuan utama, yaitu memberikan akses kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta,” kata Enny.

Oleh karena itu, MK menilai, pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR, harus menata ulang desain pemenuhan hak atas rumah.

“Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,” ucap Enny.

Menimbang dengan dinyatakannya Pasal 7 ayat (1) UU Tapera bertentangan dengan konstitusi, konsekuensi yuridisnya ialah ketentuan pasal lain yang dipersoalkan pemohon juga kehilangan dasar konstitusionalnya.

Perkara Nomor 96 diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Selain menguji Pasal 7 ayat (1), pemohon juga mempersoalkan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), dan Pasal 72 ayat (1) UU Tapera.

“Dengan demikian, oleh karena Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 adalah pasal jantung yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 maka tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan UU 4/2016 secara keseluruhan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,” tutur Enny.

Dengan kata lain, Mahkamah melalui putusan ini membatalkan UU Nomor 4 Tahun 2016. Untuk menghindari kekosongan hukum, MK memberikan tenggang waktu dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk menata ulang pengaturan mengenai pendanaan dan sistem pembiayaan perumahan.

“Menyatakan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera dinyatakan tetap berlaku dan harus dilakukan penataan ulang dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan a quo diucapkan,” demikian butir lainnya amar putusan MK.(*) 
 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index