Daluwarsa Mengajukan Gugatan PHK Putusan MK Nomor 94/PUU-XXI/2023 VS Putusan MK NOMOR 132/PUU-XXIII/2025. Inkonsistenkah?

Selasa, 23 September 2025 | 22:53:40 WIB

Oleh :
MAYANDRI SUZARMAN, S.H., M.H.,
Mantan Direktur Riau Corruption Watch (RCW)
Hakim Ad Hoc PHI PN Padang

Tulisan ini lebih dimaksudkan untuk memberikan sosialisasi atau informasi saja kepada para pembaca, terutama kepada para pekerja/buruh yang saat ini di PHK oleh perusahaan. Baik yang yang sedang, ataupun yang belum melakukan upaya hukum terhadap PHK tersebut.

Kabar mengejutkan datang dari Mahkamah Konstitusi. Lembaga yang merupakan bagian dari Kekuasaan Kehakiman (Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) ini memberikan tafsiran baru terhadap jangka waktu pekerja/buruh yang di PHK untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Mahkamah Konstitusi melalui putusan terbarunya Nomor 132/PUU-XXIII/2025 tanggal 17 September 2025 telah memutuskan, menyatakan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) sebagaimana telah dimaknai terakhir dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-XXI/2023 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak tidak tercapainya kesepakatan perundingan mediasi atau konsiliasi”.

Hal ini berbeda dengan putusan MK sebelumnya yang masih mengenai jangka waktu mengajukan gugatan PHK sebagaimana dalam putusannya Nomor 94/PUU-XXI/2023 yang menyatakan: Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha”, sehingga dapat dimaknai Pasal 82 UU 2/2004 selengkapnya berbunyi: Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.

Dari kedua putusan MK tersebut jelas terlihat adanya perbedaan, padahal jelas-jelas keduanya sama-sama berkaitan dengan jangka waktu mengajukan gugatan PHK. Putusan Nomor 132/PUU-XXIII/2025 tanggal 17 September 2025 menyatakan “Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak tidak tercapainya kesepakatan perundingan mediasi atau konsiliasi”, sedangkan Nomor 94/PUU-XXI/2023 menyatakan “Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha”.

Mengapa ada pemaknaan ulang? Dan Apakah kedua putusan tersebut sebagai bentuk inkonsistensi MK?
Tentu public bertanya-tanya, mengapa bisa berbeda? Apakah MK boleh membuat putusan yang berbeda-beda? Kenapa MK tidak mempunyai pendirian yang tetap?

Pertanyaan ini tentu sah-sah saja dipertanyakan oleh public, karena kedua putusan tersebut seolah-olah menggambarkan tidak ada kepastian hukum mengenai jangka waktu mengajukan gugatan PHK.

Untuk menjawab hal tersebut, penulis menyampaikan sebagai berikut:
Bahwa di dalam perkara Nomor 132/PUU-XXIII/2025 tanggal 17 September 2025, yang diuji adalah norma Pasal 82 UU 2/2004 yang telah dimaknai terakhir dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-XXI/2023 yang pada pokoknya menyatakan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. sehingga dapat dimaknai Pasal 82 UU 2/2004 selengkapnya berbunyi Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha. Sehingga dengan demikian yang dimohonkan tersebut adalah norma yang baru yang belum pernah dilakukan pengujian ke MK.
Bahwa kalau kita baca dan cermati, pertimbangan Hakim MK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi  Nomor 94/PUU-XXI/2023 adalah sebagai berikut :

“…Mahkamah masih tetap dalam pendiriannya bahwa daluarsa pengajuan gugatan tetap diperlukan agar dapat menyeimbangkan kepentingan pengusaha dan pekerja/buruh. Batasan waktu untuk mengajukan gugatan tersebut, permasalahan antara pengusaha dan pekerja/buruh tidak berlarut-larut karena dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang jelas dan pasti. Dengan demikian, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, keberlakuan Pasal 82 UU 2/2004 serta dengan mengingat tidak adanya ketentuan lain yang mengatur mengenai batas waktu daluarsa mengajukan gugatan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial, maka penting bagi Mahkamah untuk menegaskan dalam amar putusan a quo bahwa norma Pasal 82 UU 2/2004 yang menyatakan “Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha”, bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu  (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha”. Oleh karena permohonan a quo dikabulkan tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon maka permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Bahwa pertimbangan Hakim MK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 132/PUU-XXIII/2025 menyatakan :
…Berkenaan dengan tahapan pra-litigasi yang diatur dalam UU 2/2004 diatas merupakan prosedur yang wajib dilakukan oleh pekerja dan pengusaha jika akan mengajukan gugatan perselisihan atas PHK pada PHI. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dan tanpa bermaksud menilai persoalan konkret yang dialami Pemohon, Mahkamah dapat memahami kekhawatiran sebagian pihak terhadap panjangnya waktu di setiap masing-masing tahapan, yaitu dari perundingan bipartite dan tripatrit yang meliputi mediasi dan konsiliasi di Dinas Ketenagakerjaan di atas. Namun oleh karena hal tersebut merupakan tahapan yang wajib untuk dilaksanakan sebelum menempuh pilihan untuk mengajukan gugatan perselisihan PHK pada PHI, maka tahapan yang meliputi beberapa fase tersebut harus dilakukan dan tidak dapat dihindarkan. Dengan demikian, persoalan yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah selanjutnya adalah bagaimana terhadap tahapan yang harus dipenuhi dimaksud tanpa berdampak pada dirugikannya hak konstitusional pekerja/buruh agar mendapatkan tenggang waktu kedaluwarsa yang cukup untuk mengajukan gugatan perselisihan pada PHI. Berkenaan dengan hal tersebut, meskipun Mahkamah pernah berpendirian bahwa gugatan oleh pekerja/buruh atas PHK dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha, namun mengingat waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tahapan-tahapan dimaksud diperlukan waktu yang cukup lama, maka untuk memberikan waktu yang cukup bagi pekerja untuk mengajukan gugatan pada PHI jika tahapan mediasi/konsiliasi tidak tercapai  Mahkamah menilai adil jika tenggang waktu kedaluwarsa 1 (satu) tahun dimaksud dihitung sejak tahapan mediasi/konsiliasi tidak mencapai kesepakatan.

Bahwa pilihan Mahkamah pada pendirian dimaksud dengan pertimbangan pengajuan gugatan tetap diperlukan agar dapat menyeimbangkan kepentingan pengusaha dan pekerja. Batasan waktu kedaluwarsa untuk mengajukan gugatan juga diperlukan, mengingat antara pekerja dan pengusaha memerlukan adanya kepastian hukum yang adil agar perselisihan antara pekerja dan pengusaha tidak berlarut-larut. Artinya, bagi pekerja akan segera mendapatkan hak-haknya atas adanya PHK yang dialami dan bagi pengusaha juga akan memperoleh iklim/suasana kepastian hukum dalam menjalankan usahanya, di mana hal tersebut dikarenakan adanya waktu penyelesaian perselisihan dalam jangka waktu yang jelas dan pasti. Namun demikian, setelah Mahkamah mencermati perkembangan dan fakta-fakta hukum yang terjadi, Mahkamah sebagai lembaga penjaga hak asasi manusia termasuk hak-hak pekerja dan pengusaha, Mahkamah tidak dapat mengakomodir permohonan Pemohon secara keseluruhan yang menginginkan terhadap masa kedaluwarsa mengajukan gugatan pada PHI bagi pekerja adalah 3 (tiga) tahun sejak PHK diterima atau diberitahukan. Sebab, dengan tenggang waktu yang cukup lama yaitu 3 (tiga) tahun bagi pekerja untuk mengajukan gugatan perselisihan pada PHI atas PHK yang dialami akan menjadikan baik pekerja maupun pengusaha terlalu lama dalam mendapatkan kepastian hukum, di mana bagi pekerja berkenaan dengan hak-haknya akibat adanya PHK, sedangkan bagi pengusaha segera mendapatkan iklim usaha yang kondusif dan berkepastian hukum pula, di mana iklim usaha yang berkepastian hukum demikian sangat diperlukan dalam kegiatan berusaha, sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan dalam pertimbangan hukum di atas. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalam batas penalaran yang wajar jangka waktu kedaluwarsa 1 (satu) tahun sejak tidak tercapainya mediasi atau konsiliasi untuk mengajukan gugatan perselisihan pada PHI bagi pekerja yang terkena PHK, menurut Mahkamah adalah jangka waktu kedaluwarsa yang telah memenuhi hak- hak pekerja seperti penghidupan yang layak dan larangan diskriminasi serta adanya kepastian hukum yang adil sebagaimana yang didalilkan Pemohon, sesuai dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, keberlakuan norma Pasal 82 UU 2/2004 sebagaimana telah dimaknai terakhir dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-XXI/2023, harus dilakukan pemaknaan ulang

Dengan demikian, berdasarkan ke 3 poin tersebut diatas, Penulis berpendapat, apabila terdapat perkembangan dan fakta-fakta hukum yang terjadi di dalam masyarakat, maka MK sebagai lembaga penjaga demokrasi dan hak asasi manusia demi keadilan dan kepastian hukum dapat melakukan pemaknaan ulang terhadap norma yang telah diputus sebelumnya.

Sehingga dengan demikian, menurut Penulis hal tersebut bukanlah sebagai bentuk inkonsistensi MK melainkan sebagai bentuk dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenanangannya sebagai lembaga penjaga demokrasi dan hak asasi manusia. Apakah Putusan MK Nomor 132/PUU-XXIII/2025 berlaku surut? 
Bahwa yang dimaksud dengan asas non retroaktif adalah undang-undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku ke belakang. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 4 UU HAM yang pada pokoknya menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Putusan MK juga harus tunduk pada ketentuan Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan putusan memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Putusan MK tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan putusan MK tersebut tidak berlaku surut. Artinya tenggang waktu 1 tahun ini berlaku untuk gugatan PHK di mana proses mediasinya gagal setelah tanggal putusan MK ini dibacakan, yaitu 17 September 2025. Untuk kasus-kasus yang mediasinya gagal sebelum tanggal tersebut, ketentuan hukum lama masih berlaku.

Revisi UU Nomor 2 Tahun 2004
Publik pasti menyadari dan menyambut baik putusan  MK No. 132/PUU-XXIII/2025 tanggal 17 September 2025, karena merupakan suatu langkah maju oleh MK untuk menciptakan kepastian hukum dalam hubungan industrial di Indonesia. Langkah ini seharusnya diikuti dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah dan DPR dengan melakukan revisi terhadap UU Nomor 2 Tahun 2004. Dengan begitu, tidak akan ada lagi keraguan bagi para hakim di PHI untuk menerapkannya secara konsisten.(*)

Terkini

PT Timah Tanam 11.000 Pohon Mangrove.

Senin, 29 September 2025 | 23:49:30 WIB

BRI Peduli Ajak Generasi Muda Jaga Ekosistem Sungai

Senin, 29 September 2025 | 23:45:34 WIB

1.386 Ton Beras SPHP Disalurkan Lewat Gerakan Pangan Murah

Senin, 29 September 2025 | 23:42:04 WIB