Jakarta,sorotkabar.com - Penolakan bulat dari seluruh fraksi DPR terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memerintahkan pemisahan pemilu nasional dan lokal memicu gelombang kritik. Komite Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia) menilai sikap DPR tersebut sebagai bentuk pembangkangan konstitusi yang berbahaya bagi masa depan demokrasi.
Koordinator Tepi Indonesia Jeirry Sumampow menyebut, penolakan ini bukan sekadar bentuk ketidakpatuhan, tetapi juga berpotensi menyeret DPR ke wilayah tindakan inkonstitusional.
"Putusan MK itu final dan mengikat. Tidak ada lembaga, termasuk DPR, yang berhak menilai atau menolaknya. Sikap ini adalah bentuk arogansi konstitusional," tegasnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (19/7/2025).
Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, putusan MK bersifat final dan mengikat. Dengan begitu, DPR tidak punya kewenangan untuk menyatakan putusan tersebut menyalahi konstitusi. Justru, DPR-lah yang dinilai melanggar sumpah jabatan karena menolak melaksanakan amanat konstitusi.
Jeirry juga menyinggung pernyataan beberapa anggota DPR yang berdalih menolak putusan demi menjaga konstitusi. Ia menyebut alasan itu sebagai bentuk penyesatan hukum yang mencederai akal sehat publik dan merusak prinsip checks and balances.
Tepi Indonesia menilai penolakan seragam seluruh fraksi DPR menunjukkan adanya kekhawatiran politik terhadap dampak pemisahan pemilu. DPR dianggap sedang mempertahankan dominasi partai politik atas kontestasi lokal.
"Yang mereka jaga bukan kebenaran konstitusi, tetapi kepentingan kekuasaan partai. Ini bentuk nyata dari politik kartel," ungkap Jeirry.
Dengan adanya pemisahan pemilu, kontestasi lokal bisa lebih fokus, otentik, dan tidak didikte hiruk-pikuk politik nasional. Sistem ini juga dinilai mampu menekan manipulasi dan kecurangan karena teknis pemilu menjadi lebih sederhana.
Tepi Indonesia menegaskan, jika DPR tidak setuju dengan substansi putusan MK, masih ada jalan konstitusional yang dapat ditempuh, seperti:
1. Mengusulkan amandemen UUD 1945 melalui MPR,
2. Mengajukan judicial review baru dengan argumen hukum kuat,
3. Melakukan revisi UU yang tetap menghormati putusan MK,
4. Mengajukan mekanisme etik terhadap hakim konstitusi jika ada pelanggaran.
Namun, sikap menolak secara frontal dianggap sebagai bentuk anarki kelembagaan.
Jeirry menilai situasi ini berpotensi menciptakan kebuntuan politik yang membahayakan sistem ketatanegaraan. Jika tidak ada solusi segera, ia menyebut perlu dipertimbangkan jalan konstitusional, seperti dekrit presiden untuk menyelamatkan demokrasi dari cengkeraman kepentingan politik praktis.
"Negara hukum tak boleh tunduk pada mayoritas politik. Ia harus berdiri tegak di atas prinsip konstitusi dan supremasi hukum," pungkasnya.(*)