Jakarta,sorotkabar.com - Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia anjlok tajam ke level 46,7 pada April 2025. Angka ini menjadi yang terendah sejak masa pandemi Covid-19, sekaligus menjadi sinyal peringatan serius terhadap kondisi sektor industri nasional yang mulai kehilangan momentum pemulihannya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, menyatakan kontraksi kali ini jauh lebih dalam dari yang diperkirakan.
Ia menyebutkan, penurunan sebesar 5,6 poin dari bulan sebelumnya adalah hal yang tidak lazim dalam pergerakan PMI yang umumnya hanya naik-turun dalam kisaran kecil.
“Biasanya PMI berubah hanya 0 koma sekian atau 1 koma sekian. Tapi kali ini turun sampai 5,6 poin penurunan terbesar sejauh ini.
Artinya, ada sesuatu yang sangat berbeda terjadi antara sebelum dan setelah Lebaran,” kata Faisal.
Ia menjelaskan, meskipun penurunan ini telah diprediksi, besarnya kontraksi menunjukkan tekanan serius yang dihadapi sektor manufaktur, terutama dari sisi permintaan domestik yang melemah.
Padahal, sebagian besar industri manufaktur Indonesia masih sangat bergantung pada konsumsi dalam negeri.
“Ekspektasi pelaku industri awalnya positif menjelang Lebaran, karena biasanya ada peningkatan konsumsi didorong oleh THR dan kebutuhan Ramadan. Tapi setelah momen itu lewat, tidak ada lagi dorongan dari sisi permintaan,” paparnya.
Selain melemahnya konsumsi domestik, sektor manufaktur juga terdampak oleh pemangkasan belanja pemerintah di sejumlah sektor strategis.
Di sisi lain, tekanan dari luar negeri turut menambah beban, terutama akibat menurunnya permintaan ekspor imbas dari kebijakan ekonomi ketat Amerika Serikat.
“Jadi sekarang tekanannya datang dari dua arah, dari dalam dan luar negeri,” ujar Faisal.
Meski data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sektor manufaktur masih tumbuh 4,5% secara tahunan (year on year/yoy), laju pertumbuhannya menunjukkan perlambatan. Faisal menyoroti kondisi antarsektor sangat bervariasi.
Sektor seperti industri logam dasar dan pengolahan mineral masih cukup tangguh, tetapi sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, bahkan makanan-minuman, mulai terguncang.
Faisal menegaskan masalah utama saat ini terletak pada lemahnya permintaan, baik dari dalam negeri maupun pasar ekspor.
“Melihat kondisi saat ini, kontraksi diperkirakan akan berlanjut dalam beberapa bulan ke depan.
Sulit bagi sektor manufaktur untuk kembali ke zona ekspansi dalam waktu dekat, kecuali ada langkah kebijakan cepat untuk memperkuat daya beli masyarakat,” pungkasnya.
Ia memproyeksikan pemulihan sektor manufaktur baru akan terlihat paling cepat pada awal tahun 2026, dengan catatan pemerintah segera melakukan intervensi kebijakan yang tepat dan terarah.(*)