Pekanbaru, sorotkabar.com – Pemerintah Pusat tidak menjadikan Provinsi Riau sebagai lokasi proyek pembangunan industri hilirisasi migas yang digagas saat ini. Riau dinilai hanya cocok untuk program proyek ketahanan energi.
"Ketahanan energi cocok untuk Riau. Kita memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia dan ada PTPN yang beroperasi. Jadi, jenis hilirisasi produk sawit yang strategis untuk dikembangkan berdasarkan keunggulan komparatif wilayah seperti industri FAME (bahan biodiesel) sangat relevan dengan program B35/B40 nasional dan permintaan biodiesel global yang terus meningkat," kata Ekonom Senior Universitas Riau, Dahlan Tampubolon, Jumat (21/3/2025).
Menurut Dahlan, Riau memiliki posisi yang strategis untuk memenuhi kebutuhan biodiesel domestik maupun ekspor. Kalau infrastruktur industri di Riau dimapankan, industri dasar oleokimia seperti fatty acid, fatty alcohol, dan glycerin juga potensial dikembangkan.
"Produk itu menjadi bahan baku industri kosmetik, farmasi, dan produk perawatan pribadi. Industri ini relatif tidak terlalu bergantung pada kedekatan dengan konsumen akhir," paparnya.
Ditanya kenapa Riau tidak dilirik pusat untuk dijadikan lokasi pembangunan industri hilirisasi migas, menurut hemat Dahlan, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan hilirisasi tidak dijalankan di Riau.
Pertama, pertimbangan logistik, dimana lokasi pabrik pengolahan juga harus mempertimbangkan kedekatan dengan pasar, kemudahan ekspor, dan efisiensi distribusi. Kemudian dari sisi struktur kepemilikan modal, perusahaan perkebunan sawit di Riau dimiliki oleh perusahaan besar yang berbasis di Malaysia atau grup konglomerasi nasional yang kantor pusatnya di Jawa.
Perusahaan-perusahaan ini mengembangkan strategi bisnis terintegrasi dengan menempatkan pabrik pengolahan dekat dengan pusat logistik internasional, kawasan industri yang sudah mapan di Jawa, dan akses ke pasar yang lebih luas.
Produk turunan sawit seperti oleokimia, biodiesel, atau produk konsumen (minyak goreng, margarin, sabun) memiliki volume yang lebih kecil dan nilai yang lebih tinggi dibandingkan CPO mentah, sehingga lebih ekonomis kalau dibangun dekat dengan pasar.
"Demikian pula adanya integrasi dengan industri lain, produk turunan sawit banyak yang menjadi bahan baku industri lain (kosmetik, makanan, farmasi, dan lain-lain) yang sudah terkonsentrasi di pusat-pusat industri," sambung Dahlan. (*)