UU Maritim Baru Filipina Tingkatkan Ketegangan di Laut China Selatan

Jumat, 06 Desember 2024 | 11:42:27 WIB
Dua kapal penjaga pantai Cina terlihat di lepas pantai Filipina (Foto: Jam Sta Rosa/AFP/Getty Images)

Jakarta, sorotkabar.com - Konfrontasi terbaru antara kapal-kapal Filipina dan Cina di perairan yang disengketakan di Laut Cina Selatan terjadi hari Rabu (4/12), dengan kedua belah pihak saling menyalahkan setelah Manila mengklaim, kapal patroli Cina menembakkan meriam air dan "menyenggol" kapal penjaga pantai Filipina.

Cina sebaliknya mengklaim, kapal-kapal penjaga pantai Filipina berusaha "memasuki perairan teritorial Cina di sekitar Pulau Huangyan," nama Cina untuk gugus karang Scarborough Shoal, sekitar 220 kilometer (sekitar 130 mil laut) di lepas pantai pulau Luzon, Filipina.

Cina mengklaim hampir seluruh Laut Cina Selatan (LCS) sebagai wilayah maritimnya, meskipun ada putusan pengadilan internasional tahun 2016 yang menyatakan klaim ini tidak sah menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut, UNCLOS.

UNCLOS antara lain mendefinisikan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara sejauh 200 mil laut dari daratan. ZEE memberikan hak kepada suatu negara atas sumber daya laut. Scarborough Shoal berada di dalam ZEE Filipina dan berjarak lebih dari 460 mil laut dari pantai Cina terdekat, di Pulau Hainan.

Sengketa teritorial ini juga melibatkan negara-negara lain, terutama Malaysia dan Vietnam, karena kedua negara juga memiliki klaim di Laut Cina Selatan yang tumpang tindih dengan klaim Cina dan Filipina.

Undang-undang maritim yang baru picu reaksi keras Malaysia
Pada tanggal 8 November, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. menandatangani Undang-Undang Zona Maritim Filipina dan Undang-Undang Alur Laut Kepulauan Filipina, yang menegaskan kembali klaim maritim Manila.

"Ini menandakan tekad kami untuk melindungi sumber daya maritim kami, melestarikan keanekaragaman hayati kami yang kaya, dan memastikan bahwa perairan kami tetap menjadi sumber kehidupan dan mata pencaharian bagi semua orang Filipina," kata Marcos Jr..

Cina dengan cepat menyebut tindakan tersebut sebagai "keputusan ilegal." Tapi undang-undang baru tersebut juga membuat marah Malaysia, yang wakil menteri luar negerinya, Mohamad Alamin, mengatakan tindakan tersebut menegaskan kembali klaim teritorial oleh Filipina atas negara bagian Sabah yang kaya minyak, sebuah sengketa yang sudah ada sejak zaman kolonial.

Pada bulan Agustus, Vietnam dan Filipina sepakat untuk memperdalam hubungan pertahanan dan militer serta meningkatkan kolaborasi keamanan maritim di tengah meningkatnya kehadiran Cina di perairan yang disengketakan.

Kedua negara juga akan menandatangani perjanjian resmi sebelum akhir tahun, dan berjanji untuk menyelesaikan perselisihan secara damai di bawah hukum internasional.

Shahriman Lockman, direktur proyek khusus di Institut Studi Strategis dan Internasional, Malaysia, kepada DW mengatakan, klaim Filipina yang tumpang tindih itu "provokatif" bagi Malaysia.

"Banyak orang sering mengabaikan bahwa klaim yang tumpang tindih di Laut Cina Selatan tidak hanya terjadi antara Cina dan penggugat Asia Tenggara," kata Lockman, "tetapi juga melibatkan perselisihan di antara penggugat Asia Tenggara itu sendiri."

"Dalam beberapa hal, klaim Filipina khususnya provokatif bagi Malaysia, karena klaim tersebut mencakup negara bagian Sabah di Kalimantan. Ini bukanlah pulau tak berpenghuni, tetapi negara bagian dengan hampir 4 juta penduduk dan wilayah terluas kedua di Malaysia," kata Lockman. "Protes Malaysia bukan hal baru," tambahnya.

Konflik dengan banyak dimensi
Lockman mengatakan, setiap negara memiliki perselisihannya sendiri terakait LCS, yang membuat mereka sulit bersatu dalam melawan China. "Realitas untuk setiap penggugat individu sangat bervariasi, dan ini menyoroti masalah dengan dunia yang melihat situasi melalui lensa sempit yang mereduksinya menjadi narasi Cina versus Asia Tenggara," kata Lockman.

Para pengamat mengatakan, Perdana Menteri Anwar Ibrahim makin mendekatkan Malaysia ke Cina sejak menjabat pada tahun 2022. Cina telah menjadi mitra dagang utama Malaysia sejak 2009, menyumbang 17% dari perdagangan global Malaysia — mendekati USD100 miliar — kata menteri perdagangan Malaysia, Zafrul Aziz, bulan Juni lalu.

Para pengamat mengatakan, itulah sebabnya Malaysia jarang menentang klaim atau tindakan Beijing di Laut Cina Selatan, meskipun negara itu juga memiliki sengketa teritorialnya sendiri yang sudah berlangsung lama dengan Cina.

"Selain bungkam mengenai sengketa Laut Cina Selatan antara Manila dan Beijing, Malaysia juga telah mengambil pendekatan yang lebih tenang terhadap sengketanya sendiri dengan Beijing," kata Ian Chong, ilmuwan politik di Singapura, bulan September lalu.

Dia mengatakan lebih lanjut, penolakan terbuka Filipina terhadap klaim Cina kontras dengan sikap diam Malaysia terhadap penempatan kapal penjaga pantai oleh Cina di lepas pantai Sarawak, negara bagian Malaysia di pulau Kalimantan utara.

Chong menandaskan, hal ini menunjukkan bahwa Malaysia "siap untuk menekan" negara-negara seperti Filipina yang dianggapnya "relatif lebih lemah," sementara di sisi lain kurang bersedia untuk melawan Cina, yang menawarkan "peluang ekonomi yang signifikan".(*) 
 

Terkini