Walhi Riau: Program Prioritas Kemenhut Belum Jawab Pemulihan Lingkungan dan Hak Legalitas Rakyat atas Kawasan Hutan

Kamis, 05 Desember 2024 | 21:32:37 WIB
Kebun Walhi Nasional.

Pekanbaru, sorotkabar.com — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau menilai lima program strategis yang diumumkan Kementerian Kehutanan pada akhir November lalu masih jauh dari harapan untuk memulihkan lingkungan dan memenuhi hak legalitas masyarakat atas kawasan hutan.

Walhi menyebut program tersebut ambigu, kontradiktif, dan cenderung menyederhanakan isu kompleks tanpa menghadirkan solusi nyata.

“Program ini belum mencerminkan komitmen serius negara untuk melindungi hutan alam yang tersisa dan memastikan hak masyarakat atas wilayah kelola mereka,” ujar Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional. Ia menyoroti minimnya keterbukaan informasi, partisipasi publik, dan penegakan hukum yang tegas dalam program-program tersebut.

Program pertama, yakni digitalisasi layanan, disebut Walhi lebih fokus pada kemudahan berbisnis bagi korporasi daripada mengutamakan transparansi dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan.

Sedangkan program kedua yang mengusung tema penguasaan hutan berkeadilan juga dianggap melenceng dari esensinya. Penyelesaian konflik agraria dikesampingkan, sementara perhutanan sosial mengalami pergeseran makna. Upaya penyelesaian sawit ilegal di kawasan hutan lebih banyak menguntungkan korporasi tanpa solusi konkret terhadap konflik yang terjadi di lapangan.

“Presiden Prabowo belum menunjukkan keberanian lebih dibanding presiden sebelumnya untuk langsung memimpin penegakan hukum terhadap korporasi ilegal. Penertiban izin dan audit dalam program ini juga tidak dijelaskan arahnya secara detail. Hasilnya, kebijakan pencabutan izin yang pernah dilakukan pemerintah sebelumnya hanya menghasilkan perpindahan penguasaan kepada aktor lain,” tegas Uli.

Sawit Ilegal dan Ancaman Korupsi

Walhi Riau juga mencatat, ±778.521,44 hektare atau 79,54% dari perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan yang sedang diproses pemerintah merupakan milik korporasi. Direktur Eksekutif Walhi Riau, Even Sembiring, menyebut pemerintah perlu mengevaluasi proses ini sebelum memberikan insentif kepada korporasi.

“Tanpa safeguard untuk konflik agraria, riwayat kebakaran hutan, serta pencemaran lingkungan, penyelesaian sawit ilegal hanya akan melanggengkan kerusakan. Bahkan, tindakan pemutihan sawit oleh negara menjadi pintu masuk korupsi, seperti yang terungkap dari penggeledahan Kejaksaan Agung di KLHK terkait tata kelola sawit,” ujarnya.

Temuan Walhi Riau juga mengungkap bahwa alih fungsi kawasan hutan untuk perkebunan sawit terus terjadi. Pada tiga kabupaten/kota di Riau, ±828,1 hektare hutan dialihfungsikan untuk sawit setelah disahkannya UU Cipta Kerja (UUCK).

Food Estate di Papua dan Ancaman terhadap Masyarakat Adat

Program food estate juga menjadi perhatian serius Walhi. Direktur Eksekutif Walhi Papua, Maikel Peuki, menyoroti rencana pengembangan food estate seluas 1,6 juta hektare di Kabupaten Merauke. Proyek ini akan terintegrasi dengan Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) seluas lebih dari 2 juta hektare.

“Proyek ini justru bertentangan dengan perjuangan kami untuk mendapatkan legalitas atas tanah dan hutan adat. Kami Orang Asli Papua malah dihadapkan pada proyek besar yang akan menghancurkan identitas adat dan ketahanan pangan lokal kami,” kata Maikel.

Selain di Papua, pengembangan food estate juga direncanakan di Kalimantan Tengah, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan, dengan luasan masing-masing ±100.000 hektare.

Ambisi rehabilitasi lahan kritis seluas 12,7 juta hektare juga tak luput dari kritik Walhi. Program ini dianggap kurang transparan dan berpotensi hanya mengejar insentif ekonomi tanpa memperhatikan semangat pemulihan lingkungan yang sejati. Walhi meminta Kementerian Kehutanan untuk terlebih dahulu melaporkan capaian rehabilitasi pada tahun-tahun sebelumnya sebagai bentuk akuntabilitas.

Di awal masa jabatan ini, Walhi Riau menantang Menteri Kehutanan untuk melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap aktivitas perkebunan ilegal skala besar, terutama di kawasan hutan Riau.

“Kami ingin melihat komitmen nyata, bukan sekadar janji. Tindakan harus diarahkan pada perlindungan hutan dan penyelesaian konflik agraria secara tuntas,” tegas Even. (*) 
 

Terkini