Tembilahan,sorotkabar.com – Ribuan petani kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) menyatakan sikap menolak kebijakan pemerintah pusat terkait rencana penerapan Pajak Ekspor (PE) sebesar 7 persen terhadap komoditas kelapa bulat.
Melalui wadah Ikatan Petani Kelapa Rakyat (IPKR), para petani menyatakan akan menggelar aksi unjuk rasa dalam waktu dekat untuk menyampaikan penolakan secara langsung.
Ketua IPKR, Zainudin Acang, menyebut kebijakan tersebut sangat tidak berpihak kepada petani yang selama ini menggantungkan hidup pada komoditas kelapa. Menurutnya, penetapan PE justru akan semakin menekan harga jual kelapa di tingkat petani yang kini sudah jatuh di bawah Rp4.000 per kilogram.
"Kami akan menggelar aksi sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan PE. Ini akan semakin membebani petani dan menambah penderitaan mereka yang sudah bertahun-tahun menghadapi harga kelapa yang tidak stabil," kata Acang, Rabu (21/5/2025).
Ia menjelaskan, penerapan pajak ekspor akan mengurangi volume ekspor kelapa bulat ke luar negeri, sehingga mempersempit pasar dan menurunkan harga di dalam negeri. Dampaknya, daya tawar petani akan semakin lemah dan harga kelapa akan terus anjlok.
"Jika ekspor dibatasi karena beban pajak, petani kehilangan alternatif pasar. Padahal kelapa adalah satu-satunya sumber penghidupan ribuan keluarga di Inhil," jelasnya.
Saat ini, harga kelapa hanya berkisar Rp3.500 per kilogram, jauh di bawah harga ideal yang sebelumnya bisa mencapai Rp7.000 per kilogram. Dengan kondisi ini, Acang meminta pemerintah pusat mengkaji ulang kebijakan PE, dan jika tetap diterapkan, harus diikuti dengan penetapan harga minimum kelapa di tingkat petani.
"Kami menuntut agar pemerintah menetapkan harga standar minimal Rp4.000 per kilogram, agar ada kepastian dan perlindungan terhadap penghasilan petani," ujarnya.
Senada dengan itu, Burhanuddin Rafik, pegiat perkelapaan di Inhil, juga mengkritisi kebijakan tersebut. Ia menilai rencana PE tidak tepat diberlakukan di tengah situasi sulit yang dihadapi petani kelapa saat ini.
"Untuk saat ini, kebijakan pajak ekspor tidak dapat diterima. Tata niaga kelapa belum dibenahi, tapi petani justru dibebani pungutan. Ini sangat tidak adil," tegasnya.
Menurutnya, mayoritas kebun kelapa di Inhil dikelola secara mandiri oleh petani rakyat.
Tidak ada dukungan yang signifikan dari pihak luar, sehingga beban tambahan seperti pajak ekspor hanya akan memperburuk keadaan.
"Selama ini petani berjuang sendiri. Kalau harga jatuh dan pajak diterapkan, siapa yang menjamin keberlangsungan hidup petani kelapa di daerah ini?" pungkasnya. (*)