Jayapura, sorotkabar.com - "Setelah dari Korea Selatan, saya langsung pulang ke kampung. Tidak di kota lagi, tetapi langsung ke kampung halaman saya, tempat kelahiran saya, yaitu Kampung Yenggu Baru," kata Alex Waisimon di lokasi ekowisata yang didirikannya.
Pagi itu terasa begitu teduh dan damai, ketika berjalan menyusuri lokasi ekowisata Isyo Hills Bird Watching di Kampung Rephang Muaif, yang masuk wilayah Pemerintahan Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
Menyusuri sebuah kawasan yang masih asri dengan pepohonan rindang itu, pengunjung ditemani kicauan burung yang merdu. Pada bagian depan atau memasuki pintu utama lokasi wisata itu, ada sebuah bangunan "Galeri Noken Park" sebagai wadah untuk menampung hasil kerajinan tangan khas masyarakat setempat.
Sesekali pengujung dibuat terpana dengan kupu-kupu yang beterbangan bebas, tanpa rasa takut kepada manusia. Kenyamanan kupu-kupu terbang rendah itu, menunjukkan kesatuan yang tidak terpisahkan antara manusia dengan alam.
Pagi itu sekitar pukul 09.00 WIT, ada sosok pria paruh baya sedang menunduk dan menggenggam sesuatu di telapak tangannya, yang diambil dari sebuah wadah berukuran sedang.
Seorang pemandu wisata mengenalkan bahwa sosok pria itu adalah Alex Waisimon yang merupakan pendiri dan pengelola ekowisata.
Pagi itu, Alex sedang asyik memberi makan ikan peliharaannya di kolam kecil, yang berada persis di bawah kolong bangunan panggung penginapan dari ekowisata yang dikelolanya.
Menggunakan baju kaos berkerak warna hijau, celana panjang dan sepatu, Alex dengan antusias menceritakan kisah perjuangannya mendirikan dan mengembangkan ekowisata yang telah memasuki tahun ke-10 pada 2025.
Tempat itu dibangun dengan hati yang terpanggil untuk kembali pulang ke kampung dan membangun kampung halaman. Bagi Alex, semua itu terwujud karena anugerah Tuhan.
Berangkat dari kepeduliannya terhadap masyarakat adat dan alam sebagai rumah serta sumber kehidupan, maka Alex merangkul sanak-saudaranya untuk bersama mendirikan dan menata lokasi ekowisata itu.
Bagi dia, pulang untuk membangun kampung yang merupakan bagian dari orang Papua. Siapapun, bahkan gelar atau pangkat tinggi sekalipun, ketika pulang kampung, itulah tantangan diuji untuk membangun kepedulian dan mengembangkan usaha bagi masyarakat adat.
Bermodalkan panggilan hati yang kuat dan tekad membangun masyarakat adat yang berkelanjutan, maka Alex yang sebelumnya bekerja pada organisasi nonpemerintah (NGO) di Korea Selatan, kemudian lebih memilih pulang ke kampung untuk membangun daerahnya.
Pada 2009 Alex pulang dari Korea Selatan dan dijemput oleh keluarganya untuk pulang ke kampungnya. Beberapa waktu kemudian, dia memilih untuk bekerja di Pulau Bali. Rupanya, tekad untuk tinggal di kampung halaman, masih tergoda untuk kembali merantau, pilihannya adalah Pulau Dewata.
Suatu ketika, saat masih bekerja di Bali, dia duduk di tepi pantai dan memandangi Matahari yang mulai terbenam. Ketika itu, Alex teringat kampung halaman. Ingatan itu seolah merupakan panggilan adat dari kampung untuk segera pulang dan membangun daerah.
Sejak 2015, Alex mulai merangkul sanak-saudaranya untuk memulai sebuah terobosan baru bagi suku tersebut, meskipun untuk memulai dihadapkan dengan banyak tantangan dan rintangan, tetapi semuanya dapat dilalui karena kekuatan doa dan tekad. Tantangan itu, antara lain, bagaimana membangun kepercayaan warga adat mengenai rencana besar Alex untuk melestarikan hutan, sekaligus membuka lapangan kerja bagi warga.
Alex adalah anak adat dari Suku Namblong, yang mengelola kurang lebih 16 hektare hutan adat Suku Waisimon, yang di dalamnya terdapat dua kampung, yakni Yenggu Baru dan Yenggu Lama.
Kini, masyarakat di kampung itu sangat bersyukur karena dengan luas lahan tanah di dalamnya hanya dimiliki oleh satu suku,yakni Suku Waisimon, sehingga dalam proses memulai ekowisata ini berjalan dengan baik, karena semua warga memiliki hubungan kekerabatan.
Pada lahan hutan seluas 16 hektare itu, dibuatlah beberapa objek wisata, seperti rumah pohon di Kampung Yenggu Baru, pemantauan Burung Mambruk dan Kasuari di Kampung Yenggu Lama, dan pemantauan Burung Cenderawasih.
Ada enam spesies Burung Cenderawasih yang ada pada kawasan hutan ekowisata itu. Untuk dapat menikmati keindahan burung khas Papua itu, pengunjung membutuhkan waktu delapan jam berjalan menyusuri hutan lindung tersebut.
Delapan jam ini terhitung dengan waktu berjalan sambil melihat Burung Cenderawasih pada titik-titik yang telah ditentukan. Waktu maksimal yang ditentukan yakni empat jam masuk dan empat jam keluar hutan.
Ditentukan waktu maksimal delapan jam, mengingat terkadang pengunjung akan betah berlama-lama memandangi aksi lincah dan lucunya si burung cantik Cenderawasih.
Ada kemah persinggahan yang disiapkan untuk pengunjung dapat bermalam di dalam hutan, karena jarak tempuh yang akan memakan waktu, sehingga pengunjung akan puas menikmati suasana alam pada lokasi ekowisata itu.
Alex telah melatih dan membina anak-anak muda di kampung itu untuk menjadi pemandu wisata bagi pengunjung yang datang dan kebanyakan adalah anak-anak putus sekolah yang diberdayakan olehnya.
Pada kawasan ekowisata ini tidak diperbolehkan berburu atau membunuh hewan karena dilindungi, guna menjaga keberlanjutan hidup spesies langka khas Papua.
Sejak 2015 hingga 2025, upaya Alex itu telah menarik perhatian dari ribuan wisatawan untuk datang ke ekowisata itu. Untuk wisatawan mancanegara yang berkunjung telah mencapai 700 pengunjung, dan selebihnya adalah wisatawan domestik.
Selain melestarikan hutan dan alam, Alex juga turut melestarikan kearifan lokal suku setempat, dengan menyajikan masakan khas Suku Namblong yang diolah dari bahan pangan lokal.
Bagi Alex dan seluruh warga adat, alam telah menyediakan segalanya, tugas kita adalah menjaganya untuk keberlanjutan hidup manusia, termasuk juga spesies yang ada. Manusia dan alam ada dalam satu kesatuan yang mengikat. Ketika kita menjaga alam, maka alam juga akan menjaga kita.
Pria kelahiran Nimbokrang, 19 September 1968, ini berjodoh dengan seorang perempuan asal Malang (Jawa Timur), dan dikaruniai empat orang anak. Dia memutuskan pulang kampung dan memberdayakan masyarakat adat untuk melestarikan alam sebagai sumber kehidupan berkelanjutan.
Semantara itu, Pemkab Jayapura memberikan bantuan tiga unit penginapan yang terdiri dari dua kamar pada masing-masing bangunan, serta dilengkapi meja, kursi, dan perlengkapan dapur senilai Rp175 juta per unit, sehingga totalnya Rp525 juta.
Plt Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jayapura Benyamin Yarisetouw menjelaskan bahwa pihaknya juga memberikan bantuan berupa satu menara pandang senilai Rp75 juta. Diharapkan, bantuan itu dapat menunjang aktivitas pariwisata berbasis alam yang berkelanjutan di taman wisata yang dikelola Alex dan warga adat itu.(*)