Jakarta, sorotkabar.com - Mulai 1 Januari 2025 pajak pertambahan nilai (PPN) naik dari 11% menjadi 12%. Jika kebijakan itu dipukul rata maka masyarakat menengah ke bawah akan terbebani.
Wakil Ketua Komisi XI DPR, Hanif Dhakiri, mulanya menjelaskan bahwa kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tak bisa dipukul rata terhadap seluruh masyarakat.
"Daya beli masyarakat kita memang menurun dari beberapa fakta, tapi kita lihat penghasilannya, stagnan bahkan sebagian menurun. Itu lah kenapa daya beli menurun, harga cenderung naik, penghasilan stagnan cenderung menurun.
Sehingga ketika bicara PPN itu jika dipukul rata praktis akan membebani masyarakat di kalangan menengah ke bawah," kata Hanif Sabtu (14/12/2024).
Mantan Menteri Tenaga Kerja itu menyebut kenaikan PPN menjadi 12% akan meningkatkan pendapatan negara hingga Rp 80 triliun. Ia menilai lebih penting melihat juga kemampuan rakyat guna memastikan produktivitas penerapannya.
"Jadi saya pertama-tama tidak ingin melihat dari sisi penerimaan negara dulu, saya ingin melihat justru dari kemampuan rakyat kita bayar dulu," ucapnya.
"Pajak tinggi setuju nggak? Setuju, selama masyarakatnya punya kemampuan untuk membayar. Kalau tidak, ya malah nanti akan muncul social unrest. Bukan penerimaan negara naik, negara ribut, iya," sambung Hanif.
Karena itu, Hanif menekankan pentingnya mempertimbangkan berbagai aspek sebelum menerapkan satu kebijakan.
"Itu kenapa skenario terbaik dari implementasi PPN 12% ini menjadi sangat penting memastikan agar upaya menaikkan pendapatan negara itu jangan sampai menimbulkan ketidakstabilan sosial di masyarakat, sekaligus menambah beban ekonomi di masyarakat," imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama Think Policy, Andhyta Firselly Utami, menyoroti tentang penggunaan pajak yang dibayarkan masyarakat.
"Ini yang juga penting adalah emang dipakai buat apa sih? Kelas menengah tuh mau tahu itu aja," kata Afu.
Terlebih, kata dia, ada fenomena menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik.
"Nah di dunia hari ini, di mana kita bahkan tidak percaya atau tingkat kepercayaan terhadap pemerintah pada umumnya, terhadap DPR cukup rendah. Kan jadi pertanyaan Rp 70 triliun tambahan ini mau dipakai untuk apa?" ucapnya.(*)