London,sorotkabar.com - Para ilmuwan menyatakan krisis iklim memperparah badai mematikan yang menewaskan lebih dari 1.750 orang di Asia. Hujan di musim penghujan kerap memicu banjir, tapi para ilmuwan menegaskan badai tahun ini "tidak normal."
Ketinggian beberapa banjir di Sri Lanka mencapai lantai dua gedung-gedung. Sementara banjir di Sumatera diperparah deforestasi pada hutan-hutan yang sebelumnya menahan aliran air hujan dari pegunungan.
Jutaan orang terdampak Siklon Ditwah yang melanda Sri Lanka dan Siklon Senyar di Sumatera pada akhir November lalu. Bencana-bencana ini termasuk yang paling mematikan di Asia dalam beberapa tahun ke belakang.
Koalisi ilmuwan iklim, World Weather Attribution menemukan intensitas hujan deras di daerah yang dilanda Siklon Senyar meningkat 28 sampai 160 persen. Sementara intensitas hujan deras di Sri Lanka naik antara sembilan sampai 50 persen.
Selain menghilangkan ribuan nyawa dan menghancurkan infrastruktur, badai yang memicu banjir bandang dan longsor juga menimbulkan risiko kesehatan. Penelitian terbaru menunjukkan kematian akibat penyakit seperti diabetes dan kerusakan ginjal naik selama bencana. Lapisan ekonomi terbawah yang paling terdampak.
Kombinasi hujan deras musim penghujan dan perubahan iklim adalah bauran mematikan," kata akademisi Royal Netherlands Meteorological Institute Sarah Kew, seperti dikutip dari the Guardian, Jumat (12/12/2025).
Kew yang merupakan ketua penulis laporan World Weather Attribution menambahkan hujan lebat selama musim hujan bukan hal baru bagi Asia Tenggara. "Apa yang tidak normal adalah pertumbuhan intensitas badai-badai ini," tambah Kew.
Akademisi University of Moratuwa di Sri Lanka, Lalith Rajapakse, mengatakan Siklon Ditwah menjadi peringatan atas realitas baru bagi Sri Lanka dan kawasan Asia Selatan dan Tenggara. Siklon ini, katanya, membawa hujan deras yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Banjir cukup biasa bagi kami setiap tahunnya di musim penghujan. Kami bersiap menghadapi banjir tapi biasanya hanya 1 kaki, maksimal 2 kaki, tapi kali ini di beberapa daerah banjir mencapai 14 sampai 15 kaki, bahkan terkadang naik ke lantai dua tidak berpengaruh," kata Rajapakse.
Para ilmuwan sepakat krisis iklim yang disebabkan pembakaran bahan bakar fosil meningkatkan intensitas dan frekuensi badai di berbagai kawasan di belahan dunia. Udara yang menghangat dapat menahan lebih banyak kelembaban, hingga meningkatkan intensitas hujan.
Para ilmuwan meneliti catatan cuaca untuk menilai bagaimana periode hujan lebat berubah seiring dengan menghangatnya suhu bumi sebesar 1,3 derajat Celsius seperti yang terjadi saat ini. Mereka menemukan peningkatan intensitas yang signifikan.
Peningkatan intensitas terlihat bervariasi, seperti intensitas hujan lembat di daerah yang terdampak Siklon Senyar, seperti 28 sampai 160 persen. Karena para peneliti menggunakan berbagai data meteorologis.
Model-model iklim yang digunakan para peneliti WWA memperkirakan seberapa besar kemungkinan cuaca ekstrem terjadi akibat pemanasan global. Model-model itu tidak mereplikasi peristiwa cuaca ekstrem semirip mungkin.
Karena fenomena-fenomena alam seperti La Nina dan perbedaan anomali suhu permukaan laut antara bagian barat dan timur Samudra Hindia atau Indian Ocean Dipole turut mempengaruhi cuaca ekstrem. Namun berdasarkan analisa mereka, para ilmuwan menyimpulkan pemanasan global memperkuat hujan deras dari badai-badai yang terjadi di Asia.
“Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bagaimana perubahan iklim dan variabilitas alami dapat bersamaan memicu hujan ekstrem yang luar biasa. Meskipun variabilitas alami adalah bagian dari sistem iklim, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil adalah sesuatu yang dapat kita lakukan dan sangat diperlukan untuk menurunkan intensitas kejadian ekstrem di masa depan," kata akademisi Imperial College London, Mariam Zachariah.
Maja Vahlberg dari Red Cross Red Climate Centre mengatakan badai yang dipicu perubahan iklim membawa kerusakan yang tidak pernah dialami sebagian besar masyarakat Sri Lanka dan Indonesia yang tinggal di daerah terdampak bencana. Vahlberg mengatakan kelompok masyarakat yang paling rentan yang justru merasakan dampak terburuk dan menghadapi proses pemulihan yang paling panjang.
Ia menunjuk dua faktor yang memperburuk dampak bencana tersebut, yaitu perpindahan penduduk ke kota serta penebangan hutan. Vahlberg mengatakan selama beberapa dekade terakhir pembangunan pemukiman di Daerah Aliran Sungai tumbuh dengan pesat.
Kawasan-kawasan ini adalah pusat ekonomi, dengan jalan, jaringan listrik, rumah sakit, dan pasar. Tetapi kawasan ini juga merupakan jalur alami bagi air banjir, deforestasi dan hilangnya lahan basah juga mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air di daerah perbukitan, hal ini meningkatkan risiko longsor, dan di bagian hilir meningkatkan puncak banjir serta membawa puing ke kawasan permukiman di Sumatera," katanya.(*)