Jakarta, sorotkabar.com - Sidang kasus dugaan korupsi pengelolaan timah digelar untuk mendalami soal penyewaan alat. Terungkap bahwa ada setoran uang miliaran rupiah yang tak dicatat.
Duduk sebagai terdakwa dalam sidang ini adalah Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku mantan Direktur Utama PT Timah Tbk 2016-2021, Emil Ermindra selaku mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2016-2020, dan MB Gunawan selaku Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa.
Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa, harga sewa peralatan processing pelogaman timah itu disepakati dalam pertemuan pada Agustus 2018. Nilainya sebesar USD 3.700 per ton Sn di luar harga bijih timah yang harus dibayar oleh PT Timah Tbk kepada CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa, PT Sariwiguna Binasentosa.
Sementara itu, khusus PT Refined Bangka Tin yakni smelter yang diwakili Harvey diberi penambahan insentif sebesar USD 300 per ton Sn. Akhirnya, nilai kontrak khusus untuk PT Refined Bangka Tin menjadi sebesar USD 4.000 per ton Sn.
Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
"Telah mengakibatkan keuangan keuangan Negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 atau setidaknya sebesar jumlah tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara," ujar jaksa saat membacakan dakwaan Helena Lim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (21/8).
Kerugian negara yang dibeberkan jaksa meliputi kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah yang sebenarnya berasal dari penambang ilegal di wilayah izin usaha PT Timah. Jaksa juga membeberkan kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun berdasarkan hitungan ahli lingkungan hidup.
Dokumen Dibuat dengan Tanggal Mundur
Jaksa menghadirkan staf Direktorat SDM PT Timah Tbk, Eko Zuniarto Saputro, sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengelolaan timah. Eko mengaku membuat dokumen kajian dengan tanggal mundur atau backdate terkait kerja sama antara PT Timah dan smelter swasta usai temuan oleh tim audit internal.
Mulanya, Eko mengakui ada kerja sama sewa peralatan untuk pelogaman timah antara smelter swasta dan PT Timah. Dia mengatakan kerja sama itu dilakukan tanpa kajian.
"Ini kan harga sewa smelternya sudah ditetapkan dalam perjanjian itu, setelah itu apakah saudara pernah mendapat perintah dari Pak Alwin (Direktur Operasi dan Produksi PT Timah) untuk melakukan kajian atau evaluasi terhadap perjanjian sewa smelter ini atau nggak sebelumnya? Apakah Saudara tahu untuk sewa smelter ini sebelumnya pernah ada dilakukan kajian oleh Divisi P2P?" tanya jaksa.
"Setahu saya ada narasi yang dibuat terkait dengan kerja sama ini," jawab Eko.
"Kajiannya ada nggak?" tanya jaksa.
"Kalau kajian nggak ada," jawab Eko.
"Tapi kerja sama sudah dilaksanakan?" tanya jaksa.
"Sudah," jawab Eko.
Eko mengatakan dirinya diperintah Alwin Albar membuat kajian kerja sama tersebut setelah sewa dilaksanakan. Dia mengatakan perintah itu diberikan Alwin usai adanya temuan audit internal PT Timah, yakni tidak adanya feasibility study (FS) terkait kerja sama tersebut.
"Apa yang diminta oleh Pak Alwin?" tanya jaksa.
"Pada saat itu ada temuan internal dari internal audit terkait dengan kerja sama yaitu belum adanya FS," jawab Eko.
"Waktu itu kami sampaikan kami hanya mendapatkan SP (surat perintah) dan narasi terkait dengan kerja sama ini. Karena di narasi kerja sama itu, udah ada hitung-hitungannya juga, Pak, tarifnya berapa. Kemudian, permintaan dari internal audit untuk melengkapi dokumen, dokumen itu dilengkapi Pak," imbuh Eko.
Dia mengatakan dokumen kajian itu baru selesai dibuat pada Agustus 2020. Namun, pihaknya melakukan backdate sehingga kajian itu seolah dibuat 2018.
"Di tanggal berapa akhirnya Saudara membuat kajian sebagaimana perintah Pak Alwin?" tanya jaksa.
"Seingat saya akhir 2019 kemudian selesainya itu seingat saya Agustus 2020," jawab Eko.
"Dokumennya per tanggal berapa dibuat? " tanya jaksa.
"Dimintanya Mei 2018," jawab Eko.
"Berarti ada dokumen kajian itu yang dibuat di 2020 dibuat tanggal mundur atau backdate seperti itu ya?" tanya jaksa.
"Berdasarkan data-data di 2018," jawab Eko
Tujuan Membuat Tanggal Dokumen Mundur
Jaksa mendalami Eko terkait penggunaan kajian itu lantaran kerja sama sewa peralatan pelogaman timah antara PT Timah dan smelter swasta sudah berjalan. Eko mengatakan kajian itu dibuat atas perintah Alwin untuk pelengkapan dokumen oleh tim audit internal PT Timah.
"Terus dokumen yang Saudara buat itu yang backdate itu, pada akhirnya digunakan untuk apa Pak? Kan tadi kerja sama sudah terlanjur berjalan, tidak diperlukan lagi kajian kan. Kepentingannya apa Pak Alwin menyuruh untuk dibuatkan kajian dengan tanggal mundur seperti itu?" tanya jaksa.
"Itu karena masih ada temuan dari internal audit yang belum lengkap Pak," jawab Eko.
Sewa Smelter Paling Mahal
Eko mengatakan PT Timah membayar sewa smelter swasta yang diwakili Harvey Moeis dengan harga paling mahal dibanding smelter lainnya. Jaksa bertanya terkait bentuk kerja sama.
"Apa yang dikerjasamakan?" tanya jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (25/9/2024).
"Terkait sewa peralatan peleburan tepatnya sewa peralatan processing pelogaman," jawab Eko.
"Yang menyewa PT Timah, menyewa smelter para pemilik smelter swasta itu?" tanya jaksa.
"Iya," jawab Eko.
Jaksa lalu menanyakan harga sewa antara lima smelter swasta dengan PT Timah tersebut. Eko mengatakan harga sewa untuk PT RBT sebesar USD 4.000 per metrik ton.
"Untuk RBT waktu itu sebanyak 2.000 USD per jam dengan kapasitas setengah ton per jam atau kalau diekuivalensikan 4.000 USD per metrik ton," jawab Eko.
Eko mengatakan harga sewa untuk empat smelter swasta lainnya lebih murah. Nilainya, kata Eko, sebesar USD 3.700 per ton SN.
"Untuk empat smelter yang lain?" tanya jaksa.
"Keempat yang lain tarifnya 3.700 dolar per metrik ton," jawab Eko.
Jaksa lalu mencecar Eko mengapa ada perbedaan harga sewa tersebut. Eko mengaku tak tahu karena perjanjian kerja sama sudah ada saat dirinya masuk.
"Kenapa berbeda?" tanya jaksa.
"Saya tidak tahu," jawab Eko.
Total Tranaksi Rp 2,1 M
Jaksa juga menghadirkan staf keuangan PT Stanindo Inti Perkasa, Yulia, sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengelolaan timah. Yulia mengungkap pihaknya mengirimkan uang Rp 2,1 miliar ke money changer milik crazy rich Helena Lim.
Yulia mengatakan perintah untuk mengirimkan uang ke money changer Helena, PT Quantum Skyline Exchange (PT QSE), diberikan oleh Suwito Gunawan selaku beneficial owner PT Stanindo Inti Perkasa. Total uang yang dia kirimkan sebesar Rp 2,1 miliar.
"Apakah Saudara Saksi juga pernah melakukan transaksi dengan PT Quantum Skyline ataupun money changer yang lain?" tanya jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (25/9/2024).
"Saya pernah diperintah Bapak Suwito Gunawan, Pak," jawab Yulia.
"Totalnya ada berapa, Ibu?" tanya jaksa..
"Seingat saya ada tiga kali, Pak, totalnya Rp 2.100.000.000," jawab Yulia.
Yulia mengatakan pengiriman uang juga dilakukan staf lainnya bernama Elsi Rahayu. Dia mengaku meminta Elsi melakukan pengiriman uang itu atas perintah Suwito.
Yulia mengatakan nomor rekening dan nominal yang harus dikirimkan juga diberikan oleh Suwito. Dia mengatakan uang yang dikirimkan ke PT QSE dalam bentuk rupiah.
"Dalam bentuk rupiah semua, ya?" tanya ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh ikut mendalami.
"Iya, Yang Mulia," jawab Yulia.
Dia mengatakan keterangan transaksi pengiriman uang ke money changer milik Helena dituliskan sebagai setoran usaha. Padahal, kata Yulia, PT Stanindo Inti Perkasa tak memiliki kegiatan usaha dengan money changer milik Helena.
Setoran Tidak Dicatat
Yulia mengatakan transaksi ke money changer milik Helena juga tak dicatat dalam kas PT Stanindo Inti Perkasa. Dia mengatakan hal itu merupakan perintah Suwito Gunawan.
"Atas transaksi yang dilakukan baik Ibu maupun Elsi, dicatatkan nggak di keuangan, Ibu? Karena Ibu kan tadi salah satu tugasnya mencatat keuangan yang keluar," tanya jaksa.
"Kalau di kas saya tidak, Pak," jawab Yulia.
"Kenapa tidak dicatat di kas Ibu?" tanya jaksa.
"Tidak tahu, Pak, tidak disuruh dicatat," jawab Yulia.(*)