Ironi Sekolah Ramah Anak, Siswi Korban Bully Justru Dikeluarkan karena Latar Belakang Keluarga

Ironi Sekolah Ramah Anak, Siswi Korban Bully Justru Dikeluarkan karena Latar Belakang Keluarga
Ilustrasi bully

Bandar Lampung, sorotkabar.com – Kisah memilukan datang dari GDS (17), siswi SMP Negeri 13 Bandar Lampung yang mengaku dikeluarkan dari sekolah setelah menjadi korban perundungan karena latar belakang keluarganya. 

GDS mengaku sering dihina teman-temannya karena sang ibu bekerja sebagai pemulung.

“Saya sering di-bully, teman-teman menghina orangtua saya karena kerjaannya pemulung, tukang rongsokan. Sampai akhirnya saya dikeluarkan dari sekolah saat kelas VIII,” tutur GDS dengan suara lirih, Senin (20/10/2025). 

Cerita GDS viral di media sosial dan memicu kemarahan publik. Banyak warganet mempertanyakan bagaimana sekolah yang mengklaim “ramah anak” justru tidak melindungi siswanya dari perundungan.

GDS dibesarkan oleh ibunya, Misna Megawati (42), seorang pemulung yang tinggal di rumah sederhana di belakang SMKN 8 Bandar Lampung. Sang ayah sudah lama meninggalkan keluarga dan tak lagi memberi nafkah. “Sejak bayi sembilan bulan, anak saya diasuh adik saya. Tapi setelah adik saya meninggal tahun 2023, dia kembali saya rawat,” kata Misna.

Alih-alih mendapat dukungan, GDS justru kehilangan haknya untuk bersekolah. Ia kini lebih sering membantu ibunya memilah barang bekas daripada duduk di bangku kelas. “Saya ingin sekolah lagi, tapi malu dan takut dibully lagi,” ujar GDS lirih.

Ketika dikonfirmasi, Kepala SMP Negeri 13 Bandar Lampung membantah adanya tindakan diskriminatif. Ia menyebut sekolah tetap berkomitmen sebagai sekolah ramah anak. “Sekolah kami ramah anak, kami tidak pernah menoleransi bullying,” ujarnya singkat. Namun pihak sekolah tidak menjelaskan alasan pasti mengapa GDS akhirnya tidak lagi bersekolah di sana. 

Kasus ini menjadi cerminan betapa isu perundungan di lingkungan pendidikan masih belum ditangani secara serius. Aktivis pendidikan di Lampung, Ratna Sari, menilai langkah sekolah yang membiarkan korban keluar adalah bentuk kegagalan lembaga pendidikan dalam melindungi siswa. “Jika korban bully sampai berhenti sekolah, itu artinya sistem perlindungan anak di sekolah tidak berjalan,” tegas Ratna.

Menurut Ratna, perundungan bukan hanya soal ejekan, tetapi juga soal ketimpangan sosial yang sering kali membuat anak dari keluarga kurang mampu menjadi sasaran. “Anak-anak seperti GDS tidak hanya butuh tempat belajar, tapi juga lingkungan yang adil dan empatik,” ujarnya.

Kasus GDS kini tengah menjadi perhatian publik di Lampung. Banyak warga yang menyerukan agar Dinas Pendidikan turun tangan dan memastikan hak belajar GDS dipulihkan. “Pendidikan adalah hak semua anak, tanpa memandang siapa orangtuanya,” kata Ratna menutup.(*) 
 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index