Pekanbaru,sorotkabar.com - Pengamat ekonomi Universitas Riau, Dahlan Tampubolon menilai, maraknya gelandangan dan pengemis (gepeng) di Pekanbaru bukan lagi sekadar persoalan sosial.
Tapi sudah menjadi fenomena ekonomi baru yang menimbulkan distorsi serius di sektor informal dan dalam persepsi publik tentang kemiskinan.
Menurutnya, di sektor informal, aktivitas mengemis kini menjadi pesaing tidak sehat bagi pedagang asongan, juru parkir, atau pekerja harian lainnya.
“Pada sektor informal, profesi mengemis ini menjadi kompetitor gak sehat bagi pedagang asongan atau pekerja harian informal lainnya. Mengemis menawarkan hasil yang jauh lebih besar tanpa modal dan tanpa kerja keras, menarik lebih banyak orang untuk beralih profesi,” ujar Dahlan, Rabu (15/10/2025).
Ia menjelaskan, fenomena ini akan membuat masyarakat sulit membedakan antara mereka yang benar-benar miskin yang malu meminta-minta dan tetap berusaha di sektor informal, dengan miskin profesional yang menjadikan mengemis sebagai pekerjaan berpenghasilan tinggi.
“Akibatnya, kepercayaan publik terhadap program bantuan sosial dan lembaga zakat resmi bisa menurun. Dalam konteks Pekanbaru, kota yang dianggap kaya, fenomena ini memperkuat anggapan bahwa kemiskinan di perkotaan seringkali adalah pilihan, bukan takdir,” jelasnya.
Dikatakannya, jika orang tahu pengemis bisa membawa pulang Rp18 juta per bulan, hal itu bukan lagi tentang kemiskinan, tapi tentang jaringan eksploitasi dan memanfaatkan kebaikan orang lain.
“Ujung-ujungnya, ini merugikan orang yang betul-betul miskin. Mereka yang gigih berusaha di sektor informal, seperti pedagang gorengan atau jaga parkir, justru luput dari perhatian. Karena semua empati masyarakat sudah terkuras oleh gepeng elite di lampu merah,” tegasnya.
Dahlan menilai Pemko Pekanbaru harus memandang fenomena ini bukan sekedar masalah sosial, melainkan peluang untuk menata ulang kebijakan ekonomi dan sosial kota.
Ia menyarankan tiga strategi utama, yaitu penegakan hukum tegas, pemberdayaan ekonomi, dan kampanye kesadaran publik.
“Pertama, penegakan hukum tegas dan konsisten. Pemko harus benar-benar menerapkan Perda, bukan hanya kepada gepeng sebagai penerima, tapi juga kepada pemberi sedekah di jalanan. Kalo denda Rp50 juta itu ditegakkan, misalnya dengan e-Tilang sosial. Sumber dana Rp18 juta itu akan kering secara otomatis, menghilangkan insentif ekonomi untuk mengemis,” tambahnya.
Kedua, sambungnya, pemberdayaan dan pelatihan vokasi yang menarik. Program pembinaan di Dinas Sosial yang harus dirombak total dengan membuat program yang menawarkan penghasilan awal yang mendekati UMK Pekanbaru, melalui pelatihan keterampilan yang benar-benar dibutuhkan pasar kerja.
“Dengan begitu, orang tu akan melihat laba dari bekerja formal lebih tinggi daripada risiko mengemis,” tambahnya lagi.
Ketiga, yaitu optimalisasi lembaga zakat resmi. Menurutnya, Pemko Pekanbaru harus gencar mengkampanyekan "Sedekah pada Tempatnya."
“Arahkan dana cash dari masyarakat yang dermawan itu ke Baznas atau lembaga resmi yang punya mekanisme seleksi ketat. Ini memastikan dana sosial betul-betul sampai ke fakir miskin sejati dan digunakan untuk program ekonomi produktif, bukan sekadar gaya hidup pengemis profesional,” tuturnya.(*)