Sejarah Tarik Menarik Blok Ambalat Antara Indonesia dengan Malaysia

Selasa, 12 Agustus 2025 | 19:31:01 WIB
Sengketa Blok Ambalat di Laut Sulawesi memicu ketegangan Indonesia-Malaysia sejak 1969.

Jakarta,sorotkabar.com - Blok Ambalat menjadi salah satu wilayah strategis yang kerap memicu ketegangan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia.

Terletak di Laut Sulawesi, kawasan ini kaya akan sumber daya alam, khususnya minyak dan gas bumi, sehingga memunculkan klaim tumpang tindih dari kedua negara.

Perselisihan ini tidak hanya melibatkan aspek politik dan hukum internasional, tetapi juga menguji keteguhan kedaulatan dan diplomasi Indonesia di mata dunia.

Sejak awal 2000-an, sengketa Ambalat menarik perhatian publik setelah beberapa insiden di perairan tersebut melibatkan kapal patroli dari kedua negara.

Meski berbagai perundingan telah dilakukan, tarik menarik klaim terus terjadi, memperlihatkan betapa pentingnya Ambalat dalam aspek ekonomi, geopolitik, dan keamanan nasional.

Sejarah Sengketa Blok Ambalat
Sengketa wilayah Ambalat antara Indonesia dan Malaysia bermula pada 1969, ketika kedua negara melakukan survei dasar laut untuk menentukan batas landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Hasil survei ini menghasilkan Perjanjian Tapal Batas Landas Kontinen Indonesia dan Malaysia yang ditandatangani pada 27 Oktober 1969 dan diratifikasi pada tahun yang sama.

Berdasarkan perjanjian tersebut, Blok Ambalat secara sah diakui sebagai bagian dari wilayah Indonesia.

Namun, situasi berubah pada 1979 ketika Malaysia merilis peta baru yang memasukkan Blok Ambalat ke dalam wilayahnya.

Pemerintah Indonesia menolak peta tersebut, begitu pula beberapa negara lain seperti Filipina, Singapura, Thailand, Tiongkok, dan Vietnam, yang menilai langkah Malaysia sebagai tindakan sepihak merebut wilayah negara lain.

Ketegangan meningkat setelah terjadi penangkapan nelayan Indonesia di perairan yang diklaim Malaysia.

Pemicu Ketegangan: Blok Y dan Blok Z
Berdasarkan peta 1979, Malaysia membagi wilayah yang diklaim menjadi dua konsesi minyak, yakni Blok Y (ND6) dan Blok Z (ND7).

Blok Y tumpang tindih dengan wilayah yang diklaim Indonesia, sementara Blok Z bersinggungan dengan wilayah yang diklaim Filipina.

Pada 16 Februari 2005, Malaysia memberikan konsesi minyak di kedua blok tersebut kepada perusahaan Shell, memicu protes keras dari pemerintah Indonesia.

Sejak itu, kapal patroli Malaysia dilaporkan berulang kali memasuki wilayah perairan Indonesia dengan alasan bahwa area tersebut merupakan bagian dari Malaysia.

Berbagai tindakan ini memperburuk hubungan kedua negara, mendorong kedua pihak untuk mencari penyelesaian politik demi meredakan eskalasi.

Dasar Hukum dan Perdebatan Klaim Wilayah
Pada 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi sepakat melakukan dialog politik.

Malaysia mendasarkan klaimnya pada Pulau Sipadan dan Ligitan yang dimenangkannya di Mahkamah Internasional pada 2002 dengan alasan setiap pulau berhak memiliki laut teritorial, ZEE, dan landas kontinen.

Namun, Indonesia menolak klaim tersebut dengan alasan bahwa pulau kecil tidak dapat dijadikan acuan penentuan batas landas kontinen.

Selain itu, Malaysia sebagai negara pantai, bukan negara kepulauan tidak berhak menarik garis pangkal dari Pulau Sipadan dan Ligitan.

Klaim Malaysia dinilai bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982), yang justru mengakui Ambalat sebagai wilayah Indonesia.

Upaya Penyelesaian
Blok Ambalat menjadi isu yang berulang kali menimbulkan gesekan diplomatik dan menghambat hubungan bilateral.

Meski negosiasi telah dilakukan berkali-kali, hingga kini belum ada kesepakatan final mengenai batas wilayah. Berdasarkan UNCLOS 1982, sengketa laut seharusnya diselesaikan secara damai, dan bila gagal, dapat dibawa ke peradilan internasional.

Meski memiliki posisi kuat, pemerintah Indonesia memilih jalur diplomasi dan belum membawa kasus Blok Ambalat ke Mahkamah Internasional.(*)

Halaman :

Terkini