Tokyo,sorotkabar.com — Setelah bertahun-tahun berusaha menarik orang asing guna mendongkrak perekonomian, pemerintah Jepang kini memperketat kontrol terhadap wisatawan dan pekerja migran. Langkah ini diambil sebagai respons atas meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap dampak sosial dan ekonomi dari kehadiran warga asing.
Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba baru-baru ini mengumumkan pembentukan satuan tugas baru bernama Kantor untuk Mendorong Koeksistensi yang Harmonis dengan Orang Asing (OPSHCFN). Kantor ini akan berfungsi sebagai pusat komando untuk mengoordinasikan kebijakan yang menyangkut warga negara Jepang dan orang asing yang tinggal, belajar, atau bekerja di negara tersebut.
Menurut Ishiba, kantor ini akan menangani isu-isu seperti imigrasi, pembelian properti oleh warga asing, serta utang asuransi sosial. Pembentukan kantor ini dilatarbelakangi oleh tindakan kriminal dan penyalahgunaan sistem oleh sejumlah warga asing, kata Ishiba, seraya berjanji akan mengambil tindakan tegas terhadap pelanggar hukum.
Meski belum dijelaskan secara terperinci tindakan yang dimaksud, pemerintah Jepang sebelumnya telah mengumumkan rencana merevisi kebijakan visa agar dapat menolak masuk turis dan orang asing yang tidak membayar penuh layanan medis di Jepang.
Selama satu dekade terakhir, jumlah warga asing di Jepang meningkat dari 2,23 juta menjadi 3,77 juta. Namun, mereka tetap hanya mencakup sekitar 3% dari total populasi Jepang yang melebihi 120 juta jiwa.
Sementara itu, sektor pariwisata mencatat lonjakan tajam. Menurut Organisasi Pariwisata Nasional Jepang, negara tersebut mencatat rekor 21,5 juta pengunjung dalam enam bulan pertama 2025. Jepang bahkan menjadi destinasi wisata teratas di Asia dan kedelapan di dunia, menurut UN Tourism.
Namun, lonjakan wisatawan ini menuai reaksi negatif dari masyarakat. Keluhan warga mencakup kepadatan turis di lokasi ikonik seperti Gunung Fuji, penurunan debit air di resor pemandian karena permintaan pemandian pribadi, hingga tuduhan bahwa turis asing berkontribusi terhadap inflasi dan kelangkaan bahan pokok, termasuk beras.
Selain itu, warga asing juga dituding menghindari sistem asuransi kesehatan nasional dan mendorong kenaikan harga properti akibat pembelian real estat oleh investor luar negeri.
Sejumlah warga Jepang menyuarakan keprihatinan mereka. Seorang pensiunan berusia 78 tahun mengeklaim pekerja migran mengambil alih pekerjaan orang Jepang, sementara Kouyama Nanami (23), pegawai kantor menyebut bantuan sosial untuk warga asing dinilai lebih besar dibanding warga lokal.
Namun, Profesor Sosiologi Universitas Waseda Shunsuke Tanabe menilai kekhawatiran tersebut banyak didasarkan pada disinformasi. Ia mencatat bahwa meskipun jumlah warga asing meningkat, tingkat kejahatan di Jepang justru menurun selama dua dekade terakhir.
Data Kementerian Kehakiman mencatat sebanyak 9.726 warga negara asing ditangkap sepanjang 2023, hanya mewakili 5,3% dari total pelaku kejahatan yang ditangkap.
Menurut analis politik, langkah Ishiba membentuk OPSHCFN dipandang sebagai strategi menjelang pemilu Majelis Tinggi pada Minggu (20/7/2025) besok. Dalam pemilu tersebut, Jepang akan memilih 124 dari 248 kursi, dan isu imigrasi menjadi sorotan utama.
Partai Sanseito, partai kecil berhaluan kanan yang mengusung slogan "Japan First", mendapat sorotan publik karena sikap keras mereka terhadap imigrasi. Meskipun peluangnya kecil untuk menguasai mayoritas, Sanseito diprediksi meraih 10–15 kursi dan dapat mengganggu dominasi Partai Demokrat Liberal (LDP) pimpinan Ishiba.
Tahun lalu, LDP dan koalisinya kehilangan mayoritas di Majelis Rendah untuk pertama kali dalam 15 tahun. Jika kekalahan berlanjut di Majelis Tinggi, posisi Ishiba sebagai perdana menteri bisa terancam.
"Partai anti-imigrasi seperti Sanseito memanfaatkan ketakutan publik untuk menarik suara dari LDP," ujar Jeffrey Hall, dosen di Universitas Internasional Kanda di Chiba.
Sohei Kamiya, pemimpin Sanseito, membantah bahwa retorika partainya bersifat diskriminatif. "Kami hanya ingin menunjukkan bahwa tidak masuk akal menghabiskan uang untuk pekerja asing dan menyerahkan bisnis menguntungkan kepada mereka," tegasnya.
Jeffrey Hall menilai langkah Ishiba bisa memperkuat citra LDP sebagai partai yang tegas terhadap isu imigrasi. Namun, ia juga memperingatkan bahwa kebijakan yang terlalu keras dapat merusak daya tarik Jepang sebagai destinasi kerja.
"Jika Jepang menjadi terlalu ketat terhadap orang asing, mereka bisa merasa tidak diterima. Ini bisa berdampak negatif pada kemampuan bisnis untuk merekrut tenaga kerja asing," ujarnya.
Kebutuhan Jepang terhadap tenaga kerja asing sangat besar, mengingat populasi menua dan angka kelahiran yang terus menurun. Tingkat kelahiran pada 2024 mencapai rekor terendah, yakni 1,15, jauh dari ambang 2,1 yang diperlukan untuk menjaga stabilitas populasi.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah Jepang telah melonggarkan aturan visa dan memperbaiki kebijakan bagi imigran. Per Oktober 2024, jumlah tenaga kerja asing mencapai rekor tertinggi sebanyak 2,3 juta orang. Jepang juga memperluas akses visa di sektor strategis seperti keperawatan dan penerbangan.
Dalam pernyataan 15 Juli, Ishiba menegaskan bahwa Jepang tetap harus bersikap terbuka terhadap warga asing. "Karena kami menghadapi tantangan demografis, kami perlu menerima tenaga kerja asing dan meningkatkan sektor pariwisata demi pertumbuhan ekonomi nasional," ujarnya.(*)