Bangkok,sorotkabar.com — Perdana Menteri (PM) Thailand Paetongtarn Shinawatra, menghadapi ancaman serius terhadap kelangsungan pemerintahannya pada Jumat (20/6/2025).
Setelah hanya 10 bulan menjabat, dukungan mayoritas di parlemen terancam goyah karena mitra koalisi utama tampaknya akan menuntut pengunduran dirinya.
Paetongtarn, putri dari mantan perdana menteri sekaligus taipan kontroversial Thaksin Shinawatra, saat ini tengah berjuang mengatasi berbagai tantangan.
Ia menghadapi stagnasi ekonomi akibat tarif tinggi dari Amerika Serikat serta tekanan untuk bersikap lebih tegas dalam sengketa perbatasan dengan Kamboja yang telah menyebabkan pengerahan militer di wilayah perbatasan.
Partai Bangsa Thailand Bersatu (UTN), mitra koalisi terbesar kedua, disebut akan mengajukan tuntutan agar Paetongtarn (38 tahun), mundur sebagai syarat untuk tetap bertahan dalam koalisi yang dipimpin oleh Partai Pheu Thai.
Hal ini diungkapkan oleh dua sumber UTN kepada Reuters yang meminta identitasnya dirahasiakan."Jika dia tidak mengundurkan diri, partai akan meninggalkan pemerintahan," kata salah satu sumber.
"Kami ingin pemimpin partai memberi tahu PM sebagai bentuk kesopanan," ujarnya.
Meskipun mendapat dukungan dari mitra koalisi lainnya, yakni Partai Demokrat, posisi Paetongtarn tetap tidak stabil.
Kelangsungan pemerintahannya kini bergantung pada keputusan UTN, setelah sebelumnya Partai Bhumjaithai yang lebih besar, meninggalkan koalisi pada Rabu (18/6/2025).
Hingga kini, UTN belum mengumumkan secara resmi sikapnya. Saat dimintai tanggapan, juru bicara UTN, Akaradej Wongpitakroj, enggan membeberkan perinciannya.
"Kami harus menunggu pemimpin partai memberi tahu perdana menteri terlebih dahulu," ujarnya.
Ketidakpastian politik ini berdampak langsung pada pasar keuangan. Nilai tukar baht Thailand melemah untuk kelima kalinya secara berturut-turut pada Jumat, mencatatkan kinerja mingguan terburuk sejak akhir Februari.
Krisis yang dihadapi Paetongtarn mencerminkan menurunnya kekuatan Partai Pheu Thai, kendaraan politik keluarga Shinawatra yang sebelumnya mendominasi pemilu sejak 2001 namun kerap terguling oleh kudeta dan putusan pengadilan.
Posisi Paetongtarn semakin sulit setelah munculnya bocoran rekaman telepon antara dirinya dan mantan pemimpin Kamboja, Hun Sen, pada Rabu lalu.
Dalam percakapan itu, Paetongtarn menyerukan penyelesaian damai atas sengketa perbatasan, sekaligus mengkritik seorang jenderal Thailand yang dianggapnya hanya ingin terlihat keren, komentar yang kontroversial di negara dengan pengaruh militer yang kuat.
Kebocoran ini memicu kecaman luas. Kelompok aktivis politik telah mengumumkan rencana menggelar unjuk rasa besar di Bangkok mulai 28 Juni 2025 untuk menuntut pengunduran diri Paetongtarn serta keluarnya mitra koalisi dari pemerintahan.
Hingga kini, Paetongtarn belum memberikan komentar langsung terkait krisis politik yang melanda pemerintahannya.
Namun, ia telah berupaya menampilkan citra persatuan dengan tampil bersama para panglima militer pada Kamis dan menegaskan komitmen untuk menjaga kedaulatan Thailand.
Sebagai bagian dari upaya menenangkan situasi, Paetongtarn dijadwalkan melakukan kunjungan ke unit-unit militer di perbatasan Kamboja pada Jumat.
Ia akan bertemu langsung dengan Letnan Jenderal Boonsin Padklang, komandan regional yang sebelumnya ia kritik dalam panggilan telepon yang bocor tersebut.
Dengan dukungan politik yang melemah, pilihan Paetongtarn untuk bertahan sangat terbatas, kecuali sekutu-sekutunya berhasil menyelamatkan aliansi melalui negosiasi politik di balik layar.
Pemilu dadakan bisa menjadi bencana bagi Pheu Thai yang saat ini mengalami penurunan popularitas dan berisiko dikalahkan oleh oposisi progresif, Partai Rakyat, yang kini menjadi kekuatan terbesar di parlemen.
Namun, menurut dua sumber internal Pheu Thai, partai masih optimistis Paetongtarn dapat menghindari pengunduran diri atau pembubaran parlemen.
Pemerintah disebut sedang mempertimbangkan opsi perombakan kabinet besar-besaran untuk mengisi kekosongan posisi dan menstabilkan pemerintahan.(*)