Partisipasi Pemilih Menurun, Pemilu-Pilkada Serentak di Tahun yang Sama Perlu Diubah

Sabtu, 24 Mei 2025 | 21:14:09 WIB
Pemilu Serentak 2024. Iustrasi. Foto: Antara

Jakarta,sorotkabar.com - Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada secara bersamaan dalam satu tahun menyebabkan penurunan signifikan partisipasi pemilih.

Pola pelaksanaan pemilu seperti itu juga berdampak pada kelelahan penyelenggara hingga menimbulkan korban jiwa. 

Untuk itu, pelaksanaan pemilu secara serentak dalam satu tahun dinilai tidak ideal dan harus dievaluasi.

Praktik demokrasi justru terancam ketika efisiensi prosedural lebih diutamakan dibanding keselamatan dan partisipasi publik.

Hal tersebut mengemuka dalam webinar interaktif bertajuk Cerita Pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Tahun 2024: Pengalaman Pelaksanaan Pemilu dan Pilkada pada Tahun yang Sama yang diselenggarakan Dignity Indonesia secara daring, Sabtu (24/5/2025) dan dimoderatori oleh Pandu Yushina, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Utara Awaludin Umbola menyampaikan, di Sulawesi Utara, partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 tercatat hanya 76,2 persen, jauh lebih rendah dari Pemilu nasional yang mencapai 82 persen.

“Waktu persiapan yang pendek dan tumpang tindih dengan tahapan Pemilu membuat kami seperti dikejar-kejar.

Pada Pilkada 2018 kami punya 12 bulan masa tahapan Pilkada, di 2024 lalu, kami hanya punya delapan bulan,” tutur Awaludin.

Sementara itu, di DI Yogyakarta (DIY), masalah serupa muncul. Menurut Umi Illiyina, Anggota Bawaslu DIY, tingkat partisipasi masyarakat saat Pilkada juga turun tajam dibanding Pemilu nasional.

"Tingkat partisipasi masyarakat pada saat pemilu nasional itu sangat tinggi, mencapai 88 persen, tetapi pada saat pelaksanaan Pilkada Serentak itu mengalami penurunan drastis," kata Umi.

Lebih lanjut, Umi juga mengungkapkan dampak negatif tentang persiapan Pemilu dan Pilkada yang begitu singkat.

Hal ini mengakibatkan dua orang meninggal dunia pada saat proses tahapan.

Bawaslu DIY berusaha menjawab permasalahan tersebut dengan membuat Program Pemilu Sehat yang melibatkan beberapa fakultas kedokteran dan dinas kesehatan di DIY.

Program ini dilakukan untuk melakukan pengecekan kesehatan penyelenggara pemilu dan demi mencegah jatuhnya korban.

Namun ia menekankan bahwa solusi jangka pendek seperti ini tak cukup jika akar masalahnya penumpukan agenda besar negara dalam waktu sempit tidak segera ditinjau ulang.

“Satu nyawa yang hilang untuk demokrasi adalah harga yang terlalu mahal. Kita harus berhenti menormalkan ini,” tutur Umi.

Pada sesi tanya jawab Dicky Andrika dari KPU Tanah Datar juga memberikan masukan tentang seluruh tahapan pilkada serentak untuk selanjutnya sebaiknya dibiayai oleh APBN, agar tidak ada lagi tarik-menarik kepentingan politik antara KPU daerah dengan pemerintah daerah.

Peneliti Dignity Indonesia Isnaini Destyfitriana menilai, webinar yang diselenggarakan oleh Dignity menjadi penting dilakukan guna memberikan uang evaluasi bersama bagi para penyelenggara dan pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan ulang efektivitas pelaksanaan Pemilu dan Pilkada secara serentak di masa mendatang.

Ihwal penyelenggaraan pemilu serentak di tahun yang sama, Desty menilai, format keserentakan pemilu dan pilkada di tahun yang sama perlu ditinjau ulang demi memberikan ruang agar baik pemilu di tingkat nasional, pemilu legislatif di tingkat daerah dan pilkada yang ada di tingkat daerah mendapatkan perhatian publik yang sama besarnya.

"Saya pikir perlu ada reformulasi keserentakan, bukan sekedar waktu bersamaan tanpa keterkaitan satu pemilu dengan pemilu lainnya.

Sebagai contoh, kita bisa lihat bersama karena keserentakan di tahun yang sama isu pileg daerah tenggelam oleh isu pilpres dalam kampanyenya.

Isu Pilkada pun seolah tidak terlalu menjadi perhatian publik setelah baru beberapa bulan sebelumnya publik larut dalam hingar bingar Pilpres dan Pemilu Legislatif," ujar Desty.(*)
 

Terkini