Rusia, sorotkabar.com – Sebuah jet tempur canggih F-16 Viper milik Ukraina hancur di udara setelah diduga ditembak rudal permukaan-ke-udara (SAM) milik Rusia.
Insiden ini menjadi pukulan kedua bagi Ukraina dalam operasi militer di wilayah timur, setelah kehilangan F-16 pertama pada Agustus tahun lalu.
Komando Angkatan Udara Ukraina (UAF) mengonfirmasi peristiwa tragis tersebut. Pilot berusia 26 tahun, Pavlo Ivanov, tewas saat menjalankan misi tempur dengan pesawat buatan Amerika Serikat itu.
Kabar duka ini disampaikan melalui unggahan resmi di media sosial UAF pada 12 April.
"Kami menyampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga Pavlo. Ia gugur dalam pertempuran mempertahankan tanah airnya dari penjajah," tulis UAF.
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, turut mengonfirmasi kematian sang pilot.
Ia menyebut pihak militer tengah menyusun laporan lengkap untuk menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat tersebut. Namun, baik UAF maupun Zelenskyy tidak mengungkap secara pasti lokasi dan kronologi kejadian.
Ketiadaan detail tersebut menimbulkan spekulasi. Sejumlah media Rusia dan blogger militer mengklaim pesawat tersebut dihancurkan oleh rudal S-300 buatan Rusia, sistem pertahanan udara jarak jauh yang dikembangkan sejak era Uni Soviet.
Rudal ini dikenal mampu mendeteksi dan menyerang target di udara dengan jangkauan hingga 40 kilometer.
F-16 Viper yang jatuh merupakan varian terbaru dari keluarga F-16 Fighting Falcon yang dirancang oleh Lockheed Martin.
Pesawat ini telah dilengkapi teknologi canggih yang memungkinkannya menjalankan berbagai misi tempur dan mendukung koordinasi dengan pesawat generasi kelima seperti F-35.
Namun, dalam situasi medan perang yang kompleks dan penuh ancaman udara, kecanggihan saja tidak cukup.
Ukraina saat ini menjadi ajang unjuk kekuatan antara senjata modern NATO dan teknologi pertahanan Rusia yang terus beradaptasi.
Di tengah konflik yang belum mereda, muncul pula wacana pembagian wilayah Ukraina sebagai jalan damai. Utusan Khusus Presiden AS untuk Ukraina, Keith Kellogg, mengusulkan pemisahan wilayah seperti pasca-Perang Dunia II di Berlin, dengan pembagian zona kekuasaan antara Rusia, negara-negara Eropa Barat, dan Ukraina sendiri.
"Pasukan Inggris dan Prancis bisa menjaga zona barat, sementara Rusia tetap menguasai wilayah timur. Amerika Serikat tidak akan mengirim pasukan darat," ujar Kellogg dalam wawancaranya dengan The Times, dikutip kantor berita TASS.
Pemerintah Rusia sendiri telah menyatakan penolakannya terhadap kehadiran pasukan NATO di Ukraina dalam bentuk apapun.
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, menegaskan bahwa keberadaan pasukan aliansi barat di Ukraina merupakan ancaman langsung bagi Moskow.
Sementara pertempuran terus berlangsung, nasib pilot-pilot muda seperti Pavlo Ivanov menjadi potret nyata dari konflik berkepanjangan yang belum menemukan jalan damai. (*)