Denhag, sorotkabar.com -- Parlemen Belanda pada Selasa (26/11) menyetujui mosi dukungan bagi penegakan surat penangkapan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanan Israel Yoav Gallant.
Mosi tersebut diajukan dalam pembahasan anggaran 2025 untuk Kementerian Luar Negeri dan diusulkan oleh anggota parlemen oposisi, Kati Piri, bersama lima legislator lainnya.
Isi mosi itu mendesak pemerintah untuk memperjuangkan penerapan surat penangkapan itu oleh semua negara anggota ICC serta mematuhi keputusan tersebut. Mosi itu juga menyerukan penghentian komunikasi yang tidak penting dengan Netanyahu.
Penolakan terhadap mosi datang dari anggota koalisi dari Partai Kebebasan (Party for Freedom) yang dipimpin Geert Wilders serta Gerakan Petani-Warga (Farmer-Citizen Movement). Namun, mosi tersebut tetap disetujui dengan mayoritas suara.
Selain itu, parlemen juga meloloskan mosi terpisah yang mendesak Belanda mendukung sanksi Uni Eropa terhadap Yossi Dagan, ketua Dewan Regional Shomron, sebuah badan yang mengelola blok pemukiman di wilayah pendudukan Israel di Tepi Barat. Dagan baru-baru ini mengundang Wilders untuk menghadiri sebuah acara di sebuah permukiman ilegal pada Desember.
ICC minggu lalu mengumumkan surat penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant atas "kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan setidaknya sejak 8 Oktober 2023 hingga 20 Mei 2024" di Jalur Gaza.
Hujan perparah keadaan di Gaza
Hujan deras yang mengakibatkan banjir di tenda-tenda pengungsian sementara di seluruh Jalur Gaza menambah penderitaan rakyat Palestina yang dibombardir Israel selama 13 bulan terakhir. Hujan deras semalaman membuat tenda-tenda terendam banjir.
Di beberapa tempat banjir menyapu plastik-plastik dan pakaian yang digunakan pengungsi Gaza. Sebagian besar dari mereka sudah beberapa kali terpaksa mengungsi akibat serangan-serangan Israel.
Beberapa pengungsi menaruh ember di tanah untuk melindungi tikar dari kebocoran dan menggali parit untuk mengalirkan air dari tenda-tenda mereka. Banyak tenda yang digunakan sejak awal perang kini telah usang dan tidak lagi memberikan perlindungan, tetapi harga tenda dan terpal plastik baru melonjak melampaui kemampuan para pengungsi.
Ibu enam anam dari Gaza utara, Suad Al-Sabea kini tinggal di dalam ruang kelas sekolah perawatan dengan kaca jendela yang pecah bersama sejumlah keluarga di Khan Younis, selatan Jalur Gaza. Sabea menjual roti yang dipanggang dengan tungku kayu bakar untuk menghidupi anak-anaknya.
Namun hujan merusak tepung dan tungkunya, mengancam mata pencahariannya. "Sebelumnya saya takut hidup atau mati, kini kami mencemaskan hujan, adonan terendam air dan banyak matras yang terendam air, hujan turun di atas kepala saya dan saya terus membuat roti untuk menafkahi anak-anak saya," katanya, Senin (25/11/2024).
Beberapa penampungan pengungsi dekat pantai terendam banjir. Sejumlah tenda pengungsi hanyut terbawa gelombang ombak.
"Laut menarik putri kecil saya, Alhamdulillah kami dapat menyelamatkannya, kemana kami harus pergi, kemana pun kami pergi mereka mengatakan sudah tidak ada ruang lagi," kata salah pengungsi yang tinggal di penampungan pengungsi dekat pantai Mariam Abu Saqer.
Kantor media Hamas mengatakan sekitar 10 ribu tenda pengungsi hanyut atau rusak akibat badai musim dingin. Hamas meminta bantuan internasional untuk membantu keluarga-keluarga pengungsi dengan tenda-tenda untuk melindungi mereka dari hujan deras.
"Berdasarkan asesmen tim lapangan pemerintah, 81 persen tenda pengungsi sudah tidak bisa lagi digunakan, 110 ribu dari 135 ribu tenda benar-benar usang dan harus segera diganti," kata kantor media Hamas dalam pernyataannya.
Badan Layanan Kedaruratan Sipil Palestina mengatakan ribuan pengungsi terdampak banjir musiman dan membutuhkan tenda baru dan karavan dari pendonor. Badan pengungsi untuk Palestina (UNRWA) mengatakan musim dingin artinya lebih banyak penderitaan bagi rakyat Palestina.
"Sekitar setengah juta orang berada di area beresiko banjir, setiap tetes hujan semakin memperburuk situasinya, seperti setiap bom, setiap serangan," kata UNRWA dalam pernyataannya.(*)